Logo

Logo
Latest News
Monday, June 24, 2013

Perkawinan Adat Suku Lio


Versi Moni
Oleh: Silver Sega
Sumber : cerita lisan orang tua di Moni.

Masyarakat suku LIO menganut system Patrilineal atau berdasarkan garis keturunan ayah. Sistem ini memperlihatkan posisi atau status atau strata pria lebih tinggi dari perempuan. Seorang pria bisa mempunyai istri lebih dari sati orang. Tetapi seorang perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu orang kecuali suami pertamanya sudah meninggal. Seorang pria yang beristri banyak atau lebih dari satu, menunjukkan bahwa pria itu dari keluarga berada, atau keluarga bangsawan. Salah satu bukti seorang pria itu dari keluarga bangsawan adalah istri yang banyak, karena keluarga pria itu mampu membayar belis atau mahar atau mas kawin kepada keluarga perempuan. Semakin banyak istri semakin semakin bangsawan keluarga pria itu. Apalagi pada jaman dahulu, hidup berumah tangga (suami istri) tidak didasarkan pada rasa saling cinta antara pria dan wanita tetapi lebih pada rasa suka pria pada seorang wanita. Selain itu, perkawinan atau hidup rumah tangga juga lebih didasarkan atas persetujuan orang tua perempuan (sigadis/pemudi). Sekalipun si pemudi itu tidak mau, tidak merasa cinta dengan pemuda atau pria yang akan dijadikan suaminya itu, tetapi dia tidak bisa melakukan perlawanan terhadap orang tuanya.
 
Seorang pria dewasa, meskipun sudah beristri lebih dari satu, tetapi kalau dia melihat seorang pemudi dan suka dengan pemudi itu, maka si pemuda bisa menjadikan nya sebagai istri, setelah membayar belis kepada orang tua dan keluarga pemudi. Kalaupun perempuan sudah bersuami, jika ada seorang pria lain yang juga sudah beristri, suka dan tertarik dengan perempuan bersuami itu, si pria lain tadi bisa merampas perempuan itu menjadi istrinya. Ini hanya terjadi pada keluarga bangsawan dan pemberani.
 
Proses Perkawinan Adat.

1. Tana Ale atau Nai Gare/Masuk Minta.
Tana Ale atau Nai Gare terjadi setelah seorang pemuda melihat seorang pemudi dan merasa suka dan tertarik dengan pemudi itu. Si pemuda kemudian memberitahukan kepada orang tuanya. Orang tua pemuda itu kemudian mencari seorang bapak (bisa dari keluarga sendiri atau orang lain) untuk dijadikan sebagai Juru bicara (dalam bahasa Lio disebut Ha’I jala). Ha’i jala ini kemudian pergi ke rumah keluarga si gadis yang disukai oleh si pemuda tadi. Inilah yang namanya tana ale atau nai gare. Bahasa atau cara yang digunakan ‘ha’I jala dalam bertanya kepada orang sigadis, adalah dengan bahasa kiasan. Biasanya dengan kiasan jagung muda. (Ame, Leka ini latu jawa eo kuwa ngura (untuk pemudi yang usianya lebih muda/atau kuwa tua (untuk pemudi yang usianya sudah lebih dewasa). Jika si ha’I jala tidak menyebut dari keluarga mana yang menyuruhnya datang tana ale atau nai gare, maka orang tua si gadis akan bertanya (Kau mai tana ale naa eo wiwi lema sai????) Jika ha’i jala sudah menyebut orang atau keluarga yang menyuruhnya, maka hanya ada dua jawaban dari keluarga si gadis. Ada dan tidak ada. Kalau ada maka orang tua si pemudi akan bertanya kepada si pemudi apakah dia mau dengan pemuda yang datang melalui ha’I jala itu. Jika jawaban pemudi itu MAU atau setuju, akan dilanjutkan ke tahap berikutnya. Saat itu dibicarakan atau disepakti waktu untuk ha’I jala dari keluarga pemuda untuk datang lagi, melakukan peminangan.Tetapi jika tidak setuju maka prosesnya berhenti di situ.

2. Ruti Nata/Pinangan
Setelah proses tana ale atau nai gare, proses berikutnya adalah ruti nata atau pinangan. Ha’i jala atau juru bicara dan beberapa orang dari keluarga pemuda serta pemuda itu sendiri datang lagi ke rumah sigadis (sesuai waktu yang telah disepakati) untuk melakukan peminangan atau ruti nata. Dalam peminangan Ha’i jala dan beberapa keluarga pemuda membawa emas / ngawu (ame mbulu- apakah ame bulu setengah (dua buah) atau ame mbulu seliwu (empat buah) bisa juga ame mbulu rua atau ame mbulu sutu. Emas atau ame mbulu ini sebagai tanda (pengikat/ ru’u tu’u jaga rara) bahwa sigadis itu sudah ada yang punya. Si gadis tidak boleh jatuh cinta kepada lelaki lain. Jika tidak akan dikenakan denda / gelu yang nilainya bisa dua sampai tiga kali lipat dari yang diberikan si pemuda.
Pada tahap ruti nata, pembicaraan antara keluarga pemuda dan keluarga pemudi sudah diwakili oleh masing-masing juru bicara. Isi pembicaraan seputar besar dan banyaknya jumlah belis dan waktu untuk mengantar belis. Soal besar dan banyaknya belis biasanya berpatokan pada besar dan banyaknya belis si ibu pemudi dulu. Tetapi yang intinya adalah ae susu ine (Air Susu Ibu), Ata Godo (orang yang member belis si ibu dulu), Pido Pu’u Re’te Kamu (Eda/Om/Paman), Fu’u Ae (nenek/opa/oma), Mbedi Sau (nara/ saudara laki-laki) dan majo (untuk keluarga yang lain). Belis berupa emas (ame mbulu), ternak (sapi, kerbau, kuda dan babi).

Ada pula jenis belis yang harus disiapkan keluarga laki-laki, jika si pemudi yang disukainya itu, mempunyai seorang kakak juga pemudi tetapi belum kawin. Kakak perempuan pemudi itu juga harus dihargai dengan belis atau mas kawin, karena telah mengizinkan adiknya untuk lebih dahulu menikah. (Muku Te’a ndore ngara). Belis ini tidak berlaku jika kakak perempuan itu seorang laki-laki, karena dia akan mendapat belis yang namanya Mbedi Sau.

3. Tu Ngawu / Antar Belis
Tu ngawu atau antar belis ke pihak keluarga pemudi merupakan tahap berikutnya dalam proses perkawinan adat Lio (Moni). Jika belis yang diminta pihak keluarga pemudi semuanya bisa dibawa saat itu maka si pemudi bisa langsung diboyong ke rumah si pemuda untuk beberapa waktu guna mengenal atau berkenalan lebih dalam dengan keluarga si pemuda kemudian kembali ke rumahnya untuk dilakukan hando tu. Tetapi, kalau belis yang diminta tidak bisa dipenuhi saat itu, maka si pemudi belum bisa diboyong. Hando tu pun belum bisa dibicarakan. Bahkan keluarga pemuda yang datang saat itu juga belum diberi makan (pati ka are nake). Selama pembicaraan berlangsung, mereka hanya diberi makan kibi (emping beras), ndene/filu (kue cucur) dan minum tuak/moke.

Di sini peran Ha’I jala atau juru bicara sangat menentukan. Apakah belis yang diantar itu bisa diterima atau ditolak. Karena itu ha’i jala atau juru bicara dicari orang yang benar-benar memahami seluk beluk dalam pembicaraan Tu Ngawu. Jika ha’i jala atau juru bicara pintar melunakkan atau meluluhkan hati keluarga pemudi, maka meskipun belis yang diminta belum dipenuhi seluruhnya, tetapi keluarga pemudi bisa menerima belis yang diantar itu. Sehingga para juru bicara sudah bisa membicarakan waktu untuk hando tu si pemudi ke rumah si pemuda.

4. H(k)ando Tu/ hantar pemudi ke rumah pemuda
Ini merupakan tahap akhir dari proses perkawinan adat suku Lio versi Moni. Pihak keluarga pemudi serta kerabat kenalannya, mengantar si pemudi ke rumah pemuda yang akan menjadi suaminya. Keluarga si pemudi yang menghantar si pemudi ini, tidak hanya menghantar si pemudi toch. Tetapi mereka juga membawa beras, padi serta kain sarung (lawo dan ragi). Apa yang diungkapkan ini merupakan tahapan yang seharusnya dilalui oleh setiap orang di wilayah Lio jika ingin membangun hidup rumah tangga. Tetapi, tidak jarang terjadi jalan pintas, atau potong kompas. Orang memilih untuk jalur yang lebih singkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal, seperti penolakan cinta saat Tana Ale, atau karena besarnya belis yang diminta.
Paru Kaki / Paru Dheko
Pemuda yang sudah jatuh cinta pada sipemudi akan melakukan deo gao. Langkah ini ditempuh sebagai cara untuk mempermalukan keluarga si pemudi, karena telah menolak cintah si pemuda; atau untuk meringankan beban besarnya belis yang diminta pihak keluarga perempuan. Tetapi jika si pemudi tetap menolak, maka pihak keluarga si pemudi dapat melaporkan ke pihak tua adat RIA BEWA untuk member sanksi adat (Ndate Wale) kepada si pemuda. Tetapi kalau keluarga perempuan yang merasa malu, maka mereka akan melakukan khado tu si pemudi ke pemuda yang telah deo gao tadi. Atau si gadis, karena malu, tanpa memberitahukan kepada keluarganya langsung lari ikut dengan sipemuda tadi.

Paru K(h)aki juga bisa terjadi, ketika orang tua si perempuan tidak setuju dengan pria atau pemuda pilihan anak gadis mereka. Misalnya pada saat keluarga si pemuda Tana Ale atau Nai Gare, pihak orang tua si gadis tidak setuju dengan pemuda itu tetapi anak gadis mereka setuju, maka anak gadis itu akan lari ikut atau paru k(h)aki atau paru dheko. Jika terjadi demikian, maka belis atau mahar sudah tidak dibicarakan lagi. Artinya, pihak keluarga perempuan akan menerima besarnya belis yang dibawa oleh pihak keluarga laki-laki. Paru k(h)aki bisa terjadi, pada tahap Ruti Nata. Ketika belis yang diminta terlalu besar jumlahnya, dan pihak pemuda tidak sanggup untuk memenuhinya, biasanya si pemuda mengancam akan merantau atau dia akan mencari pemudi lain. Bila si pemudi itu benar-benar cinta dengan si pemuda, tentu dia akan lari ikut atau paru dheko dengan laki-laki pilihannya.

Selain deo gao yang dilakukan pemuda terhadap pemudi, di wilayah Lio khususnya di wilayah Moni ada juga dikenal dengan SUBE DE. Sube de dilakukan oleh pemudi terhadap pemuda. Sube de terjadi, jika seorang gadis jatuh cinta pada seorang pemuda, tetapi si pemuda (sengaja) tidak menanggapinya. Si gadis yang melakukan Sube de, tentu sudah ada persetujuan dengan keluarganya terutama keuda orang tuanya. Untuk melakukan sube de si gadis tentu menggunakan strategi, misalnya dengan mengundang si pemuda pujaannya itu datang ke rumahnya. Agar aksinya bisa diketahui banyak orang, si gadis meminta bantuan seseorang untuk berada di sekitar rumahnya. ketika sigadis melakukan sube de orang itu segera memberitahukan kepada orang lain bahwa si gadis A telah sube de pemuda si B, kalau terjadi sube de maka si pemuda bisa bebas dari belis atau mas kawin.

Di samping perkawinan adat dengan tahapan yang telah dipaparkan tersebut, di wilayah Lio, khususnya di wilayah Moni, ada juga perkawinan ana eda dan perkawinan pa’a tu’a.

1. Perkawinan Ana Eda
Pada zaman dahulu, perkawinan ana eda (pemuda menikah atau kawin dengan pemudi yang merupakan anak dari saudara perempuan dari ibu si pemuda) merupakan hal yang biasa. Perkawinan macam ini dimaksudkan tidak menghilangkan hubungan atau pertalian darah. Sangat lazim pemuda mencari atau dicarikan calon istri dari salah satu anak perempuan saudara laki-laki dari ibu si pemuda. (Cross Couisins). Bentuk perkawinan cross caousins inilah yang menyebabkan anak-anak dari kecil sudah dipasang atau dijodohkan oleh kedua orang tua. Setelah dewasa, keduanya dinikahkan atau dikawinkan.

2. Perkawinan Pa’a Tu’a
Perkawinan pa’a tu’a, selain terhadap ana eda karena sejak kecil sudah dijodohkan. Tetapi bisa juga terjadi karena utang piutang. Suatu keluarga yang berutang kepada keluarga yang lain, akan membayar utang dengan menjodohkan atau mengawinkan anak perempuannya dengan keluarga pemberi utang.
 
Catatan : 
Dua model perkawinan ini, sekarang sudah jarang bahkan tidak pernah terjadi. Pemuda dan pemudi sudah tidak mau dijodohkan sejak kecil. Kalau mereka di jodohkan sejak mereka masih kecil, setelah mereka dewasa, mereka akan mencari pasangan atau pendamping yang mereka cintai.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Perkawinan Adat Suku Lio Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi