Bagian 1 (satu)
Kisah Nyata Hidupku
Jakarta, 25/04/2012
Oleh: Marlin Bato Wanes
Cerita Bersambung...
Judul diatas menggambarkan tegarnya seorang lelaki. Lelaki tangguh yang mengadu nasib dikota Jakarta. Potret hidup bak menantang batu karang sangat erat digeluti oleh lelaki itu. Banyak sekali lelaki anak negeri yang terlahir dari dusun sunyi ingin mengenyam manisnya kota Jakarta. Namun tak jarang pula ada lelaki yang tidak sanggup untuk bergulat dengan kota seribu bintang ini. Bahkan ada yang memilih kembali ke kampung halamannya setelah tahu bahwa metropolis yang didambah selama ini ternyata sangat kejam. Yah.. Seperti sebuah kalimat yang santer kala itu; Kejamnya Ibu Tiri Tak Lebih Kejam Dari Ibu Kota". Kadang-kadang kalimat ini menjadi momok tersendiri bagi anak-anak negeri dari daerah terpencil untuk menginjakkan kakinya dikota ini. Momok ini terus menghantui dari waktu ke waktu. Jika sudah gagal di Jakarta, pasti mereka akan di cap; "Siapa suruh datang Jakarta"??. Kalimat ini pun turut mengamini, sehingga makin membuat anak-anak negeri mengurungkan niatnya.
21 Juni 1996, empat hari setelah ulang tahun, aku seorang remaja Lio dari keturunan keluarga besar Mosalaki Watuneso (bangsawan), mencoba menjejaki kaki di kota metropolitan. Aku mencoba menjadi manusia baru, manusia yang hidup penuh warna. Saat itu, usiaku beranjak 17 tahun, masih belia, lugu dan polos. Aku lugu dan polos!! Sama sekali belum mengerti beratnya medan yang kulalui kala itu. Kebiasaan-kebiasaan dari kampung masih melekat erat. Kebahagian masa remajaku perlahan mulai terenggut oleh derasnya arus perubahan jati diri. Hari-hari pertama, rasanya ingin pulang saja ke kampung halamanku. Aku tak betah, gumamku dalam hati!! Aku kalut, hatiku sangat sedih, aku seperti hanya sendiri tanpa kawan, apa lagi mengingat teman-teman sebayaku dikampung halaman sedang bersenda gurau, bermain dikali, bermain gasing, dan masih banyak permainan lain yang pernah kugeluti sejak kecil. Ingin rasanya minggat dari rumah kakak ku, menumpang kapal PELNI dan bersembunyi dibalik geladak agar bisa pulang ke habitatku yang dulu. Tapi aku sudah tak tahu, aku lupa jalan pulang. Banyaknya jalan, gang dan lorong yang membingungkan dan membuatku mengurungkan niat itu. Suatu pergumulan batin yang sangat hebat. Tak pernah kubayangkan hidup di metropolitan dengan batin yang tersiksa oleh lingkungan berbeda. Aku memang benar-benar terpuruk saat itu. Ketika malam tiba, ku ambil gitar tua dan mulai memetik dawai-dawai gitar itu sambil menyanyikan syair-syair lagu yang kerap kunyanyikan bersama kawan-kawanku dulu. Yah.. sekedar tuk menghilangkan rasa rindu pada kenangan masa kecilku. Masih terngiang sebuah syair lagu dengan judul yang kusematkan sendiri. Kira-kira syairnya begini:
SAMAR TERDENGAR NUN JAUH DISANA
Reff:
Penghujung timur kabupaten Ende,
Terpampanglah desaku
"Watuneso" yang kucintai
Tempat tumpah daraku
Meski aku pergi jauh
Tak kan aku lupakan
Gunung, bukit lembah permai
"Lowo Lise" manise
Reff:
Penghujung timur kabupaten Ende,
Terpampanglah desaku
"Watuneso" yang kucintai
Tempat tumpah daraku
Deretan gereja sekolah
Pater "Visser" menatapkan
Kampung halaman dan rumah
Peninggalan "leluhurku"
Ketika menyanyikan lagu ini, kadang-kadang hatiku terus berkecamuk tambah kacau, bak telur diujung tanduk. Hidup di Jakarta seperti di Neraka. Batinku terus bergejolak, dari hari ke hari. Tapi apalah daya, aku hanya seperti seonggok daging hidup tanpa darah. Perasaanku, makin tak menentu sehingga aku seperti mati, mati karena tidak merasakan keindahan kota Jakarta. Aku pasrah seketika. Entalah!! Kini aku dihadapkan pada dunia yang benar-benar merenggut kebahagiaanku. Untung saja, kakak perempuanku menyarankan aku untuk melanjutkan pendidikan tingkat menengah disebuah sekolah milik Yasin Mo'a orang Paga, Maumere, Flores NTT, sehingga perasaanku mulai bergeliat girang kembali. Aku bisa berinteraksi dengan teman sebayaku! pikirku dalam hati. Berapa hari kemudian, mereka mendaftarkanku disekolah itu jurusan mesin perkapalan sesuai keinginanku.
SPM St. LUSIANA, sebuah sekolah pelayaran terakreditasi A, terletak di bilangan Cawang Jakarta Timur. Jarak tempuh dari rumah kesekolah kira-kira mencapai 70 Km tidak mengurungkan niatku untuk menimbah ilmu. Tentu, itu jarak yang sangat jauh untuk remaja seusiaku. Setiap hari berangkat dari rumah kawasan Utara Bekasi jam jam 04:00 pagi menuju cilincing menggunakan sepeda sayur. Hahahahha...saya lebih suka menyebut sepeda sayur karena ada keranjang didepannya. Sesampainya di Cilincing, aku menitipkan sepeda itu di rumah seorang guru asal Flores Timur yang kebetulan sudah kenal baik seperti keluarga sendiri. Kulanjutkan kembali perjalananku menujuh sekolah menggunakan bus metromini 23 jurusan Cilincing Tanjung Priuk. Tak pernah kubayangkan sejak semula, kupikir menumpang mobil di Jakarta sama seperti di Flores. Ku menunggu di pinggiran jalan, sebuah mobil metromini dilengkapi dengan musik yang hinggar binggar seperti di Flores. Hahahahha....Dasar orang Flores!! Hobinya naik mobil yang ada musik. Semakin lama kutunggu, tak satu pun metromini yang melintas dijalan terdengar suara musik mengalun dari jauh. Lalu ku coba menghampiri seorang lelaki tua yang kebetulan sedang menunggu metromini dengan rute yang sama. Pak!! Disini mobil yang dilengkapi musik, mobil apa yeach?? Ehhh...Sibapak malah tertawa renyah, sambil berkata; "Jakarta mana ada om mobil yang ada musik?? Kalaupun ada itu hanya mobil tertentu saja". Sahutnya lirih! Hahahah....akhirnya dengan perasaan malu ku terpaksa menumpang metromini berikutnya yang melintas. Dengan modal uang Rp. 100, aku pun sampai di terminal. Tapi perjalananku tidak berhenti disini, aku harus melanjutkan perjalananku menuju sekolah menggunakan Bis Tingkat (Patas 45) jurusan Tanjung Priuk menuju Cililitan, karena disinilah perhentian terakhirku. Pertama kali menumpang Bis tingkat ini, hatiku sangat gamang jangan sampai bis ini terbalik akibat sesaknya penumpang. Hahahahaha....dasar orang kampung. Kayak rusa masuk kota aja!! Tiga jam perjalan menuju sekolah cukup melelahkan. Setiap hari, rutin ku lalui hingga aku terbiasa dengan keadaan itu.
Hari-hari berlalu, perasaan rindu akan kampung halamanku perlahan mulai berkurang. Wajahku mulai ceria kembali, banyak kawan-kawan seusiaku berinteraksi denganku. Aku memang sosok yang mudah bergaul dan tidak sungkan. Tapi dialek kampungku masih sangat kental sehingga kadang aku ditertawakan, namun aku bukan tipe pemalu. Aku sanggup beradaptasi secara perlahan. Aku mulai belajar berbicara dalam logat Jakarta. Meskipun digembleng dengan kedisiplinan tinggi disekolah ini, namun aku selalu bersemangat untuk datang kesekolah. Disinilah,
aku mulai berubah menjadi remaja yang baik, remaja yang tidak mengenal rokok. Penurut, dan tidak nakal lagi seperti disekolah-sekolahku dulu di Flores. Maklum, aku memang dikenal anak yang paling bandel disekolah sejak sekolah dasar (SD). Hingga masuk STM Ende, dan STM Maumere angkatan pertama di Wairklau pun aku paling bandel. Buntut dari kenakalanku itulah sehingga pihak sekolah mengeluarkan aku dari sekolah. Meskipun bandel, namun aku tergolong anak yang cerdas sehingga sempat mendapatkan Bea Siswa di STM Maumere. Akan tetapi kebijakan sekolah tetap tidak bisa mempertahankan siswanya jika nakal. Akhirnya kedua kalinya aku dikeluarkan lagi dari sekolah dan melanjutkan di Jakarta di sekolah SPM ST. LUSIANA ini.
Namun kebahagianku yang sudah terbina setahun kini kembali terancam. Menjelang tahun 1997-1998, krisis monoter mendera negeri ini. Krisis Monoter mengakibatkan kerusuhan dan kekacauan dasyat melanda seluruh negeri. Hal ini, tentu membuat aku tak sanggup lagi melanjutkan pendidikan karena kakak perempuanku tak sanggup lagi membiayaiku. Jadilah aku, seorang remaja yang putus sekolah. Sedih, pilu kini kembali bergejolak dalam diri. Acchhh....Kuputuskan untuk minggat saja dari rumah kakak ku, dan mencoba mengais jejak tapak menata hari esok yang lebih baik. Untuk apa aku bertahan dirumah itu kalau tidak lagi melanjutkan pendidikan? Tanyaku dalam diri! Mulailah, sejak saat itu aku bertekad hidup mandiri, dan bekerja.
Pahit getir kurasakan, hidup bagaikan seorang pramuria. Aku mulai berjanji dengan diri sendiri; "Aku Harus Pulang Ke Kampung Membawah Ijasah". Namun dalam situasi krisis monoter sangatlah sulit mencari kerja. Apalagi aku belum menyelesaikan sekolahku. Huufff....Memang benar kata orang: "Kejamnya Ibu Tiri, Tak Lebih Kejam Ibu Kota". -- Siapa suruh datang Jakarta????
BERSAMBUNG--------