Logo

Logo
Latest News
Monday, September 13, 2010

MERETAS MITOLOGI "KUWI ROE" DI FLORES TENGAH

Dalam bukunya "Primitive kulture (1871), Tylor menegaskan definisi animistis agama dalam kerangka teori kognitif (Turner 1991:45). Agama berakar pada kepercayaan akan adanya roh-roh (anima). Karena animisme adalah bentuk awal dari agama-agama dewasa ini. Definisi tersebut, tentu sangat berkorelasi dengan berbagai ritual-ritual keagamaan yang kerap dijumpai diwilayah Flores Tengah melalui upacara sesajen. Suku Lio dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap wujud tertinggi yang disebut Du'a Ngga'e, Nitupa'i atamata atau babo mamo. Dalam konteks ini, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak yang wajib disujud. Sementara Nitupa'i atamata wajib dihormati. Masyarakat Lio percaya adanya kekuatan adikodrati serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Dalam pengertian umum, sesajen adalah suatu bentuk sajian atau hidangan yang dipersembahkan khusus untuk roh-roh gaib. Orang Lio acap kali membahasakan sesajen dengan dua macam sebutan spesifik yaitu; "Dhera k/ha" dan Rewu rera/rera mera. Kedua sebutan tersebut tentu mengandung definisi yang berbeda pula. Pertama, Dhera k/ha adalah bentuk sajian yang dihidangkan menggunakan makanan yang sudah dimatangkan (dimasak). Sedangkan Rewu rera atau rera mera adalah bentuk sajian yang dipersembahkan menggunakan makanan yang tidak dimasak seperti pu'u pare laka (beras merah) atau darah ayam, darah babi, dan lain sebagainya. Kendati demikian, kedua sebutan diatas, menjadi sangat sinkron dengan definisi umum yang disebut; 'Kuwi roe' - seperti dalam ungkapan 'bu kuwi roe no'o are ate wawi (kami menyajikan nasi dan hati babi).

Sudah menjadi ketentuan bahwa sebelum melaksanakan upacara yang bersifat ritual haruslah menyediakan bermacam sesajen dan juga perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan. Sesajen atau 'kuwi roe' merupakan simbol dari sebuah bentuk persembahan kepada para dewa, roh atau arwah nenek moyang, serta pengiring doa-doa agar dewa dan roh nenek moyang menerima dengan bahagia doa mereka sambil menikmati makanan berupa hewan (babi, ayam dll). Hal tersebut juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan keselamatan hidup seperti yang terungkap 'So nggengge kami, wenggo pero, sulu molo dowa leka miu' (Belalah dan lindungilah kami, hidup dan pekerjaan kami ada ditanganmu). Masyarakat Lio meyakini, bahwa arwah-arwah leluhur yang sudah meninggal selalu mengiringi langka hidup dan melindungi mereka dimanapun mereka berpijak, sehingga masyarakat Lio merasa berkewajiban untuk memberihkan makan melalui dhera k/ha atau sesajen. Persembahan sesajen juga merupakan suatu bentuk komunikasi masyarakat Lio dengan Du'a Ngga'e dan juga dengan leluhur mereka. Peradaban suku Lio jaman dahulu mengajarkan keseimbangan hubungan terhadap 3 hal, yaitu:
1. Vertikal keatas antara manusia dengan Tuhan (Du'a Ngga'e).

2. Horisontal antara manusia dengan sesamanya (Babomamo).

3. Vertikal ke bawah antara manusia dengan alam serta hewan dan tumbuhan (tanawatu).

Konon, sesajen merupakan bentuk pengajaran penghargaan terhadap alam, bukan hanya sebuah teori tapi dengan pelaksanaan secara ritual, sehingga jika sebuah tempat seperti kuburan, wisululu, musumase, dikeramatkan adalah dengan tujuan agar orang tidak merusaknya. Hal tersebut juga merupakan satu bentuk wujud rasa terima kasih atas karunia yang diberikan oleh Du'a Ngga'e, melalui tempat atau benda tersebut, jadi bukan menyamakan benda tersebut atau tempat tersebut dengan Du'a Ngga'e. Masyarakat Lio dalam kesatuan unik sosial yang memiliki keterbatasan membutuhkan sebuah simbol atau tanda seperti batu, patung anadeo, atau beda-benda lainnya dalam mengungkapkan perasaannya. Segala bentuk kegiatan simbolik dalam masyarakat tersebut juga merupakan sebuah upaya pendekatan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan, menghidupkan dan juga menentukan kematian. Jadi simbol-simbol tersebut selain mempunyai pesan-pesan kepada generasi berikutnya, juga berkaitan dengan religi.

Apabila digali lagi makna dari pemberian sesajen dan perlengkapan upacara tersebut, maka kita akan takjub dengan cara pengajaran tempo dulu dan pemahaman leluhur kita saat itu. Dalam perspektif kultural, sesajen dapat dipandang sebagai adat dan tradisi yang penuh makna. Di dalamnya ada nilai yang jika dipahami akan menjadikan manusia lebih bersikap arif dan bijak terhadap Tuhan, sesamanya, alam serta lingkungan sekitar.
 
Diwilayah Lio, sesajen-sesajen seperti yang disebut di atas, dapat ditemui pada beberapa tempat berikut ini:
1. Wisululu: Adalah tempat yang paling suci dalam rumah-rumah adat orang Lio. Tempat ini juga diyakini bersemayamnya roh-roh, serta arwah nenek moyang (leluhur) asal usul masyarakat setempat. Oleh karena itu, wisululu harus dilengkapi benda-benda berupa batu pemujaan yang diberih nama arwah leluhur melalui ritual khusus. Di wisululu, orang dapat melakukan sajian kapan saja kepada leluhur.

3. Tubumusu/musumase/lodo nda

Tugu Batu yang ditanam tegak ditengah-tengah hanga/kanga (halaman rumah adat). Heda, hanga dan mase merupakan satu kesatuan yang menjadi pusat kehidupan suatu kampung. Lodo nda adalah batu ceper kecil yang dipasang didepan musumase. Lodo nda adalah simbol wanita dan berpasangan dengan tubumusu (phallus) yang merupakan simbol laki-laki. Tubumusu/musumase wajib diberih sesajen. Masyarakat Lio percaya bahwa musumase adalah tempat bersemayamnya roh-roh bumi yang kerap disebut 'tanawatu' atau nitupa'i dan juga simbol penyatuan 'Du'a gheta luluwula dengan Ngga'e ghale wena tana'. Selain itu, musumase juga diyakini sebagai lambang kekuatan dan keperkasaan suatu komunitas perkampungan atau yang disebut dengan wewa. Sehingga terungkap dalam kalimat; We'e nia ma'e mila, wewa ma'e penga.

2. Bhaku Rate/ rate keba-rumah kubur/kuburan
Nggoi keba, ngaki rate adalah salah satu bentuk ungkapan suku Lio yang berarti bahwa tugas dari orang hidup/ahli waris adalah menjaga dan membersihkan kubur leluhur. Di bhaku atau dikuburan, masyarakat Lio juga sering melakukan ritual sesajen dengan nasi, telur ayam, daging ayam, daging babi, dan lain-lain sebagai wujud persembahan rasa syukur. Masyarakat meyakini, bhaku dan kuburan adalah rumah tempat peristirahatan bagi arwah leluhur yang sudah meninggal sehingga bhaku dan kuburan itu seyogyanya selalu dibersihkan agar manusia yang hidup akan diselamatkan dan dilindungi serta diberikan rejeki yang melimpah.

4. Pu ria/pu pire
Hutan yang dikeramatkan tempat pemujaan bagi dewi bumi, melalui ritual po'o bhoro (upacara untuk musim bercocok tanam), ritual joka ju (tolak bala). Menurut tradisi adat, hutan wajib dilindungi oleh keserakahan manusia sehingga dapat memberihkan penghidupan bagi masyarakat setempat melalui pola bercocok tanam. Di pu ria/pu pire juga biasanya diletakkan musumase tempat untuk melakukan ritual-ritual pati ka (memberih makan) kepada roh bumi.

Bentuk-bentuk sajian.

1. Babi - Orang Lio selalu melakukan ritual sesaji menggunakan hewan babi sebagai kurban. Babi melambangkan dimensi kehidupan manusia yang mengikatnya dengan bumi, tanah; unsur makhluk dunia, kesuburannya, perjuangannya untuk hidup makmur. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Lio, sangat gemar memelihara babi karena hewan ini sudah menjadi unsur kesatuan tradisi yang tidak terpisah.

2. Ayam - Selain babi, ayam juga merupakan lambang keterikatan anggota keluarga. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas dalam wilayah yang sama. Selain itu, ayam juga melambangkan keperkasaan masyarakat setempat.

3. Beras Merah/putih melambangkan kepintaran, kebaikan budi pekerti, kekuatan, kesucian serta kesehatan jasmani dan rohani yang melanggengkan kehidupan manusia, karena beras berasal dari padi yang merupakan reinkarnasi dari wujud manusia yang hidup seperti dalam legenda 'Bobi, Nombi'.

4. Tembakau dan siri, pinang, kapur siri (Bako nata) - Simbol kekerabatan masyarakat Lio serta lambang tegur sapa dalam mengawali komunikasi dan interaksi sosial.
Dalam kehidupan orang Lio dikenal sebagai sebuah tradisi yang disebut dengan 'Bako nata', yaitu tradisi mengisap rokok tembakau yang diracik sendiri dan makan sirih yang diramu dengan kapur dan pinang. Tradisi 'Bako Nata' merupakan warisan budaya leluhur terdahulu, lebih dari 300 tahun yang lampau hingga saat ini. Pendukung budaya ini terdiri dari berbagai golongan, meliputi masyarakat kelas bawah, menengah, serta kalangan bangsawan suku Lio. Tembakau melambangkan hati yang tabah dan bersedia berkorban dalam segala hal. Siri melambangkan sifat rendah hati, memberih, serta senantiasa memuliakan orang lain. Sedangkan Pinang melambangkan keturunan yang baik budi pekerti, jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia melakukan suatu pekerjaan dengan hati terbuka dan bersungguh sungguh. Kapur yang memberi lambang hati yang putih bersih dan serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa, ia akan berubah menjadi lebih agresif dan marah. Dalam Tradisi Lio, Bako Nata digunakan sebagai perangkat yang tidak boleh dilupakan dalam acara-upacara resmi adat. Oleh karena itu, dalam ritual sesajen sekalipun, bako nata selalu disertakan untuk dipersembahkan kepada leluhur.

 5. Kerbau - melambangkan ketegaran, kekuatan, kemakmuran lewat keuletan dan kerja keras namun cenderung bersifat tenang. Masyarakat Lio juga kerap melakukan sesajen menggunakan darah kerbau. Namun biasanya untuk ritual-ritual terakbar saja. Konsep sesajen mengurbankan kerbau, sudah menjadi warisan leluhur yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika mengurbankan kerbau, masyarakat Lio beranggapan ritual tersebut adalah suatu wujud penghormatan yang paling tinggi dan yang paling sakral.

Dalam ritual sesajen, tentunya terjadi komunikasi secara langsung antara manusia dengan Sang Pencipta dan leluhur secara spontan, dengan segenap keyakinan dan pengharapan yang tinggi. Masyarakat tradisional suku Lio selalu menunjukan kearifan dan mampu menyatukan pikiran serta mengungkapkan rasa, agar persembahannya berkenan dan diterima Sang Pencipta melalui ungkapan khiasan. Contoh ungkapan itu sebagai berikut;

Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana- Tuhan yang ada dilangit tertinggi dan didasar bumi.
Nggoru no'o mangu soku - Turunlah melalui mangu
nggoro no'o fi'i jo - meluncur dengan fi'i jo
Letasai no'o hoba neta - menitilah dengan hoba neta
wa'usai no'o mangu au - turun melewati tiang mangu
mai kirisai gha ngi'i k/hi - pandanglah melewati celah atap alang-alang
Ngandasai gha kogo laba - Duduklah di kogo laba
Du'a wa'usai, - Tuhan yang dilangit turunlah
wa'u pesasai manu meta - makanlah ayam mentah
Ngga'e naisai ghele tangi gela teda ter'esa- Tuhan yang didasar bumi naiklah melalui sembilan tangga perunggu Mai merasai gha leke pera' - Duduklah ditiang utama.
Mai kudhusai gha wisu lulu - Berdiamlah di wisu lulu
Mai kasai are bara - Makanlah nasi putih ini.

Pada jaman dahulu, pola pikir dan tindakan masyarakat suku Lio selalu berdimensi dua, yaitu “mistik” dan “simbolik”. Untuk mengungkap kepercayaan akan makna hidup, mereka memakai tanda - tanda atau “simbolik”, dua macam tanda penting, pertama : “mitos asal”, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual” upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan masyarakat itu sendiri, agar mereka terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur “Budaya” masyarakat tradisional suku Lio. Hal ini dapat disimpulkan bahwa metode ritual dan simbol yang dipergunakan hingga kini adalah hanya sebagai jembatan menuju keselamatan masyarakat itu sendiri sesuai dengan kearifan yang diajarkan leluhur.

Terimakasih,

Jakarta, 13-09-2010
Penulis, Marlin Bato (Pemerhati budaya)
Sumber, Du'a Ngga'e Das Hocheste Wesen In Lio-Gebiet (Mittel-
              Flores) Annali Lateranensi (1939)
              Dan Informasi Lisan dari orang Tua diwilayah Lio.
WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: MERETAS MITOLOGI "KUWI ROE" DI FLORES TENGAH Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi