Logo

Logo
Latest News
Wednesday, August 25, 2010

HEDA (KEDA) KUIL PEMUJAAN SUKU LIO

Agama bumi (dien al-ardh)
Dalam Ritual keagamaan suku Lio, Heda (Keda) adalah sebuah bangunan kuil tempat persembahan dan tempat pemujaan suci yang merupahkan fondasi dasar keyakinan masyarakat Lio kepada roh-roh alam dan kekuatan bumi. Masyarakat suku Lio dikenal sebagai masyarakat yang religius. Perilaku keseharian masyarakat Lio banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Lio memiliki relasi istimewa dengan alam. Layaknya suku-suku lain di Nusantara, ritual-ritual keagamaan suku Lio Flores Tengah dapat disebut juga dengan agama bumi. Agama bumi (dien al-ardh) adalah suatu kepercayaan yang bersumber pada kekuatan alam dan bumi. Pada umumnya orang Lio jaman dahulu menganut agama bumi dan percaya bahwa di alam ada kekuatan yang dapat mengatur dan menentukan kehidupan. Agama ini berkembang secara tradisional pada masyarakat Lio yang memiliki tingkat solidaritas yang mekanik dan juga masih memiliki pola berpikir yang tradisional pula. Kegiatan keagamaan dari agama bumi adalah ritual dengan melakukan pemujaan terhadap bendabenda yang mempunyai nilai spiritual tinggi. Benda-benda itu bisa berupa pohon, batu, patung, candi, dan sebagaimana pula dengan heda (keda).

Heda (keda)
Sepintas, bentuk heda (keda) menyerupai rumah adat namun tidak berdinding dengan atap tinggi dan melengkung kedalam, sedangkan ujung atap yang dibuat dari alang-alang dibiarkan tergantung jauh  kebawah. Dibagian depan dan belakang heda terdapat sebuah tangga, tempat masuk dan keluar. Lantainya terbuat dari pelupuk bambu serta dilengkapi tungku api yang biasanya digunakan hanya pada saat ritual adat. Pada tiang-tiang pokok dan balok-balok palang, umumnya diukir. Motif ukiran itu seperti ular naga berkepala dua atau empat, ada pula pasangan ular naga yang saling berbelit, ukiran cecak biasa atau cecak dengan enam atau tujuh kepala, biawak, buaya, binatang laut, cumi-cumi, rusa, kambing, kuda, kerbau, anjing, kepala kuda, jenis-jenis unggas, kupu-kupu, kelabang, kalajengking, kepompong, katak, ikan, dan sebagainya.

Selain itu, ada juga motif-motif lain seperti; anting-anting, gantungan leher atau perhiasan lainnya, bintang, ujung panah, atau garis-garis zig-zag. Adapun motif lain seperti; gambar manusia yang ditelan buaya, ular yang membelit binatang lain, atau kera yang terkena panah. Ada pula gambar-gambar penari telanjang, laki-laki, perempuan dan anak-anak dan pelbagai tindakan seksual lainya. Pada umumnya motif-motif itu diukir dengan relief yang dangkal tetapi ada juga figur ular, ikan, dan binatang lain yang diukir muncul seluruhnya diatas balok, ada juga motif penunggang kuda.

Patung Anadeo
Hampir tanpa kecuali disetiap heda (keda), tersimpan sepasang arca berbentuk manusia yang terbuat dari kayu, laki-laki dan perempuan, yang menggambarkan sepasang suami isteri orang tua asal suku Lio yang disebut 'Anadeo'. Dikampung Wolofeo misalnya, sepasang patung itu dinamakan Adam dan Eva. Patung-patung itu telanjang seluruhnya tetapi biasanya diselubungi dengan sepotong kain pendek pada bagian genitalnya. Matanya terbuat dari manik-manik kaca atau porselen dan lain sebagainya. Ada patung yang mengenakan penutup kepala atau topi. Tangan mereka terentang kedepan seolah hendak menerima bahan persembahan. Disampingnya sering diletakkan cangkir dan pinggan persembahan atau juga batu persembahan yang ceper. Pada jaman dahulu bagian genital itu tidak ditutup karena membahasakan kesuburan dan kemakmuran.  Heda adalah simbol lelaki-tidak ada hasil dan kelahiran di heda. Selain itu, heda (keda) digunakan untuk menyimpan gong dan gendang serta perisai yang diukir untuk dipakai saat menari. Ada lagi peti-peti yang berisi barang berharga dan juga terdapat tanduk-tanduk kerbau. Masyarakat suku Lio berharap bahwa; Du'a Ngga'e Wujud Tertinggi orang Lio, nitupa'i dan tanawatu dapat tinggal di heda, agar mereka selalu dekat dengan manusia dan manusia bisa berbicara, berinteraksi meminta bantuan kepada wujud-wujud itu yang diyakini itu, supaya diberih berkat atas usaha dan pekerjaan agar musim hujan dan kemarau berganti pada waktunya sehingga bahan makanan dan minuman arak berkecukupan.

Misteri kegaiban Heda
Heda (keda) adalah tempat yang 'bhisa gia' yang berarti mengandung kekuatan keramat yang bisa membantu manusia namun bisa juga mencelakakannya. Karena itu, siapapun dilarang menyentuh heda (keda) sesukanya atau menarik batang alang-alang dari atapnya. Orang tidak boleh tersandung didekatnya, bahkan, pada waktu membawa kurban pun demikian. Didekat heda, orang dilarang bermain atau mengotorinya. Orang yang melanggar aturan adat tersebut akan terkenah hukuman semacam kutukan berupa penyakit dan kematian atau akan menjadi orang terhina dan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Para wanita dilarang memasuki wilayah sekitar heda (keda). Jika melanggar, maka irang itu tidak akan mendapat suami, atau tidak mendapat anak, atau kebun yang digarapnya tidak akan menghasilkan panen. Kalau terjadi demikian, maka orang yang melanggar harus membawakan persembahan kurban berupa binatang (Babi) ke heda (keda) sebagai silih atas perbuatannya itu. Sebelum upacara persembahan itu selesai, sedikitpun dari (binatang) kurban tak boleh dibuang, bahkan dedak padi pun hanya boleh diberih kepada babi sesudah seluruh rangkaian upacara itu selesai.

Proses mendirikan Heda,
Ketika hendak memulai proses penebangan kayu untuk mendirikan heda, pembesar pendiri heda itu memotong dan melukai pohon pertama, dan sesudah itu barulah tukang-tukang yang lain boleh melanjutkannya. Kayu yang akan menjadi tiang sudut harus terlebih dahulu dipotong, sesudah itu barulah balok-balok palang yang akan dipasang diatasnya dipotong, semuanya berjumlah dua belas potong. Kayu yang digunakan haruslah dari batang pohon nangka.Untuk para tukang dan pekerja lainnya akan disuguhi makanan dan disembelih hewan babi selama masa pengerjaan heda (keda). Selain itu, mereka pun diperbolehkan mengambil bahan makanan dari kebun orang-orang kampung sebanyak yang mereka butuhkan. Jika ada yang memprotes dan memarahi mereka, maka orang tersebut akan dihukum dengan cara memanah seekor babi atau anjing miliknya. Akan tetapi jikalau sesudah hukuman itu, ia masih melakukan protes, maka ia akan diusir dari wilayah kampung itu.

Sesudah kayu-kayu yang dibutuhkan telah siap, para pengukir akan memahat dan mengukir kayu-kayu itu. Lalu seekor babi dibunuh dan darahnya dilaburkan sedikit pada kayu tersebut supaya disucikan dan dikuatkan untuk pembangunan heda (keda). Setelah tiang-tiang dan balok palang itu disiapkan, lalu para pekerja mendirikan 'leke pera' (tiang utama) dan disampingnya. Beberapa abad yang lalu, pada bagian-bagian wilayah suku Lio tertentu, setelah mendirikan 'leke pera' (tiang utama) mereka mempersembahkan seorang anak atau seorang hamba yang dikubur hidup-hidup dan darahnya ditumpahkan ditempat itu dengan tujuan agar bangunan heda (keda) itu bertahan lama hingga ratusan tahun atau juga menambah daya magis pada bangunan itu. Setelah itu, mereka meletakkan sebuah tempayan kecil berisi air didekatnya sambil mengucap beberapa kalimat adat;

Kolu ma'e molu;   - Ditanam janganlah tenggelam;
lele ma'e mele.      - Ditekan janganlah menghilang.
Peso ma'e geso;    - Ditempatkan janganlah bergeser;
le ma'e langga 
      - Bergoyang tetapi janganlah berlebihan

Kami ngo kau ngodho
- Kami meminta engkau memberi;

Kami pati kau simo,    - kami memberi, engkau menerima
rede ma'e rete.     - Kami bicara janganlah melarang.
Leja ma'e pate;  - Matahari janganlah membakar tanaman;
uja ma'e duna.    - Hujan tak boleh berkurang.
Kami pai kau lele; - Kami memanggil engkau mendengarkan;
kami niu kau se'a 
- kami memohon engkau datang.

Ritual utama
Pada ritual itu, tampillah lima orang laki-laki dan dua orang perempuan mengenakan pakaian yang indah (seluruhnya berwarna merah) serta dihiasi dengan perhiasan seperti kalung, anting-anting emas dan juga gantungan dada (semacam souvenir) yang indah. Sebagaimana biasanya, pada ritual penting itu masyarakat  menyembelih hewan, memasak makanan yang enak, bersantap bersama, menari, dan bernyanyi sebagai berikut;

Laki nebu padi po ngere tai tana ta'i lelu; - Laki berdiri berbaris seperti orang memintal benang; Ongga gha ligo ngere wio loka. - Ongga berdiri membentuk lingkaran. Gha mo'o pije pusu, mo'o wake ate - Kini kita akan menanam jantung, menegakkan hati.
Ria kudhu sai gharu pu'u tubu
- Ria duduklah dipangkal tubu
Bewa mai nganda gha fi'i k/hanga - Bewa bertahktalah dimulut k/hanga So laki pai, fai walu mai; - Penduduk datang karena dipanggil 'atalaki' Ta ongga nea niu ana k/halo se'a - Bawahan berkumpul karena diundang oleh ongga
Ngai gaga leka tana laki;
- Karena mereka menggarap tanah milik 'atalaki'
kewi leka watu ongga. - mengiris tuak ditanah milik ongga
Mo'o tau penu benu, kesa loa.
- Agar panenan bertumpuk melimpah.
So faiwalu keri ngere manu; - Orang banyak tertawa terkeke-keke seperti ayam; Ana k/halo gha dheka ngere lako. - mereka mendekatkan lida seperti anjing
Iwa dowa mesu !!
- Mereka tidak berkekurangan lagi !!

Elelele, e, o -
Ja lalae o se'a sewo bewa -
o ele lele, lele, e !!! -

Ketika para pekerja akan mengatapi heda, mereka melakukan ritual lagi. Tetapi ritual yang terbesar akan dirayakan bila untuk pertama kali k/hanga tempat heda itu dibangun akan digunakan. Pada kesempatan itu, di Nggela, seorang pembawah persembahan menggali sebuah lubang ditanah. Namun ia tidak boleh melihat kedalamnya dan juga bayangannya tidak boleh jatuh kelubang tersebut. Lalu ia menaburkan beberapa butir beras putih kedalam lubang itu sambil mengucap beberapa penggalan kalimat;

Sai tana pa'a,
- Sejak bumi diletakkan
sai watu welu. - sejak batu ditegakkan. sai nggoro fi'i jo, - sejak leluhur turun dengan fi'i jo sai mangu au. - sejak leluhur turun dengan tiang mangu.
Iwa suga, iwa nuwa; - Bukan baru sekarang ini; iwa mboi, iwa tombo. - tiada putus-putusnya. Sai embu welu, - Sejak leluhur mewarisinya, sai mesi meti. - sejak air bah mengering dari buka bumi (kita sudah berbuat demikian)
Seperti makna syair lagu diatas, heda dan hanga sungguh merupahkan hati dan jantung dari kampung dan wilayahnya. keduanya sekaligus menjadi pusat kehidupan dan tempat bergantung keberhasilan dan kebahagiaan kampung serta penduduknya. Dalam hal ini, ungkapan 'hati dan jantung kita' sama artinya dengan ungkapan 'gunung dan bukit kita'. Dewasa ini, sejarah manusia merupakan tanah pemakaman dari kebudayaan-kebudayaan yang tinggi, yang rontok karena mereka tidak mampu melakukan reaksi sukarela yang terencana dan rasional untuk menghadapi tantangan-tantangan berupa evolusi peradaban lokal terhadap budaya luar yang semakin hari tergerus oleh waktu. Kini upacara-upacara keagamaan yang diadakan masyarakat suku Lio, tidak segempita seperti permulaannya oleh karena banyaknya nilai-nilai historis yang cenderung dilupakan, mungkin saja nilai yang tersisa itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Kendati demikian, nilai-nilai luhur itu masih terjaga dan terbungkus dalam kemasan yang rapih pada ingatan para tua-tua adat orang Lio.


Sekian !!


Penulis Marlin Bato
Sumber, P. Paul Arndt. SVD
NB: Gambar tersebut adalah hasil jepretan ibu Yudith Rae
WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: HEDA (KEDA) KUIL PEMUJAAN SUKU LIO Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi