Logo

Logo
Latest News
Saturday, May 1, 2010

EKSISTENSI PERSEKUTUAN LISE DITENGAH HEGEMONI BELANDA DI FLORES


Penjajahan Belanda di Flores sangat berbeda dibandingkan dengan penjajahan Belanda di wilayah lain di Indonesia seperti di Jawa, di Sumatra atau bahkan Belanda di Maluku. Jelas sekali pemahaman yang keliru kalo penjajahan Belanda di Flores di samakan dengan penjajahan Belanda di daerah-daerah lain tersebut diatas, karena Flores baru masuk ke dalam perhitungan Belanda ketika perjanjian dengan Portugis tahun 1851 menyerahkan Flores kepada Belanda. Namun untuk wilayah NTT secara keseluruhan termasuk Flores Belanda menerapkan politik kolonial “onthouding”, menjaga jarak, “niet bestuuren”, tidak memerintah, atau yang secara tegas dikatakan “tidak memerintah, menjauhkan diri dari semua urusan, cukup dengan mengawasi”. Semuanya itu tentu saja dengan banyak alasan; akan tetapi salah satu alasan adalah Belanda menganggap bahwa wilayah Timor dan sekitarnya adalah, sebagaimana dikatakan kepala pemerintahan di Ende, Civiel Gezaghebber, “bahwa Residensi Timor adalah pos beban, dan akan selalu menjadi beban sampai kapan pun”Baru dalam masa Etische Politiek, 1900, politik etis, Flores masuk ke dalam peta administrasi negara Hindia Belanda. Dalam administrasi Belanda kolonial pemerintahan di Hindia Belanda dibagi dua secara tegas yaitu pemerintahan yang berurusan dengan warga Belanda diatur oleh BB, Binnenlandsbestuur dari pusat sampai ke tingkat paling bawah. Dalam versi pemerintahan Belanda tingkat paling bawah di Flores terjelma dalam badan seperti afdeeling yang bisa disamakan dengan tingkat kabupaten dan yang lebih rendah adalah onder-afdeeling yang dikepalai oleh controleur dan dalam hal Flores juga dikepalai oleh yang disebut sebagai Civiel Gezaghebber atau disebut Gezaghebber saja. Pemerintahan yang berurusan dengan pribumi diatur oleh Pemerintahan Pangrehpraja yang di Jawa dibagi menjadi Residensi dan kabupaten, kelurahan, dan sampai yang terbawah di tingkat desa.Dengan begitu kita lihat bahwa sebagian besar NTT baru sekitar tahun 1918 itulah masuk ke dalam administrasi kolonial Nederlandsch Indië.
Berikut ini Pembentukan Zelfbestuurende Landschappen di Flores, 1912-1918

1. Landschap
Larantoeka,
Radja (bestuurder)
Don Johannus (sic) Servus Diaz,
di putuskan dalam dokumen
Korte Verklaring
25 Juni 1912

2. Landschap
KangaE
Radja (bestuurder)
NaE
di putuskan dalam dokumen
Korte Verklaring
14 April 1909 No.6

3. Landschap
Sikka
Radja (bestuurder)
Don Josephus da Silva alias Non (sic) Meak
di putuskan dalam dokumen
Korte Verklaring 06 Juni 1917 No.38

4. Landschap
Nita
Radja (bestuurder)
Don Johan da Silva
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
17 Agustus 1911 No. 18

5. Landschap
Tanah Koenoe V (1 Nggela, 2 Wolo Djita (sic), 3 Mboeli, 4 Ndoeri, 5 Lise)
Radja (bestuurder)
Rasi Wangge alias Pius
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
10 Oktober 1917 No.21

6. Landschap
Ndona
Radja (bestuurder)
Mbaki Mbani
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
10 Oktober 1917 No.21

7. Landschap
Ende
Radja (bestuurder)
Pua Meno
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
10 Oktober 1917 No.21

8. Landschap
Tanah Rea
Radja (bestuurder)
Hadji Abdul Madjid alias Adji bin Kalama wd.bestuurder
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
20 Desember 1917 No.59

9. Landschap
Keo
Radja (bestuurder)
Meowa Tonga
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring
Dengan keputusan pemerintah, 28 November 1917 No.57, Korte Verklaring yang sah diabaikan; Baru dengan keputusan 3 Augustus 1918 No.5477/15 Korte Verklaring berlaku.

10. Landschap
Nage
Radja (bestuurder)
Roga Nole (sic)
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring dengan keputusan pemerintah, 28 November 1917 No.57, Korte Verklaring yang sah diabaikan; Baru dengan keputusan 3 Augustus 1918 No.5477/15 Korte Verklaring berlaku.

11. Landschap
Ngada
Radja (bestuurder)
Djawa Tai
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring dengan keputusan pemerintah, 28 November 1917 No.57, Korte Verklaring yang sah diabaikan; Baru dengan keputusan 3 Augustus 1918 No.5477/15 Korte Verklaring berlaku.


12. Landschap
Riung
Radja (bestuurder)
Petor Sila alias Poewa Mimak
di putuskan dalam dokumen Korte Verklaring dengan keputusan pemerintah, 28 November 1917
No.57, Korte Verklaring yang sah diabaikan; Baru dengan keputusan 3 Augustus 1918 No.5477/15 Korte Verklaring berlaku.

13. Landschap
Manggarai
Radja (bestuurder) tidak ada yang diangkat ambil menunggu dewasanya Abddoel Kadim, adik Sultan Bima.



Sumber: Res.Maier, „Nota Penyerahan Tugas Yang Dikerjakan Berdasarkan Surat Edaran Pemerintah tanggal 1 Mei 1918, No.1201” (Memorie van overgave opgemaakt ingevolge het Gouvernements rondschrijven ddo. 12 Mei 1918, No. 1201) yang ditandatangani oleh „De Resident van Timor en Onderhoorigheden, Maier, Koepang, 12 Augustus 1918“, baca halaman 146-156. menjelaskan bahwa untuk Landschap Tana Kunu Lima yang terdiri dari: Nggela, 2 Wolo Djita (sic), 3 Mboeli, 4 Ndoeri, 5 Lise, Belanda mengangkat Bestuuder/Radja Rasi Wangge alias Pius. Pengangkatan Pius Rasi Wangge dituangkan dalam Dokumen dan Keputusan Pemerintah Korte Verklaring No. 21 tanggal 10 October 1917.


Untuk memusatkan dan mempermudah controleur Belanda membentuk swapraja. Swapraja dibentuk dengan tujuan agar kaum pribumi mengurus warganya sendiri dengan kontrol kolonial yang dijalankan oleh para “controleur”, yang membawahi afdeeling dan onder-afdeeling. Dengan begitu di tingkat atas setiap wilayah NTT dikuasai oleh dua jenis penguasa sekaligus yaitu para Landschapsbestuurder, kepala swapraja, atau populer disebut sebagai raja, dan controleur.



Belanda di Tanah Kolektif Lise

Selama 350 tahun usia kolonialisme di Indonesia, pengaruhnya di tanah kolektif Lise cenderung terlambat. Di jaman kerajaan, Lise adalah tunggal Lise tanah Telu yang terdiri dari Lise Lowobora, Lise Kurulande dan Lise Nggonderia, tanpa Lise Detu. Sejak tahun 1917 sampai dengan tahun 1922, Lise membentuk Tanah Kunu Lima yang terdiri dari Lise Detu, Lise Lowobora, Lise Kuru, Lise Landed an Lise Nggonderia. Bersama-sama tanah persekutuan Mbuli – Nggela, tanah persekutuan Sera Ndori, dan Wolojita, termasuk dalam wilayah kerajaan Lio di bawah pemerintahan Pius Rasi Wangge hingga tahun 1940. Pembentukan ini berdasarkan Korte Verklaring No. 21 dikeluarkan pada tanggal 10 Oktober 1917.

Tahun 1914 sampai dengan tahun 1922, wilayah Ndona membentuk kerajaan sendiri dengan Raja Baki Bani. Kerajaan Ndona merangkum juga Moni dan Koanara. Di tahun 1924, Kerajaan Ndona digabungkan dengan kerajaan Lio, dibawah perintah Raja Pius Rasi Wangge.Tahun 1922 sampai 1924 telah terjadi kekosongan kekuasaan " facum of power" di kerajaan Ndona karena Raja Ndona menderita sakit selama 2 tahun di Bima Nusa Tenggara Barat. Tahun 1924 itulah Raja Pius Rasi Wangge dikukuhkan untuk memimpin Lio dengan sistem pemerintahan kerajaan.

Penguasa Belanda membagi-bagi wilayah untuk memusatkan tenaga guna mempermudah kontrole terhadap wilayah –wilayah atau untuk mengumpulkan hasil bumi dengan mudah, pembagian wilayah tersebut didasarkan atas sosio linguistic penduduk yang di bedakan atas wilayah “ata Jao” dan “ata aku” . Penduduk di wilayah yang memakai katai ganti orang pertama dengan “jao”, masuk dalam wilayah kerajaan Ende yang di pimpin oleh Raja Poea Meno, sedangkan yang memakai kata ganti orang pertama “aku” masuk wilayah Kerajaan Lio.

Dalam masa penjajahan Belanda tahun 1925, diadakan kerja rodi dengan pengawasan yang sangat ketat untuk membuka jalan raya. Tujuan membuka jalan raya adalah supaya makmur, dan supaya masyarakat makmur maka di butuhkan jalan raya dari Timur ke Barat. Tetapi supaya makmur (politik etis) Flores benar-benar harus aman, dan supaya aman Belanda harus keras, dan kalau perlu dengan kekerasan senjata. Mengapa? Karena pemerintahan lokal yaitu yang dalam bentuk “Zelfbestuurende Landschappen”/ pemerintahan swapraja harus memiliki bujet sendiri, semacam APBD sekarang. Dari mana sumbernya? Dua sumber terutama yaitu pertama, belasting (pajak) dan kedua, pungutan untuk servis publik seperti tempat permandian, bioskop dan lain-lain. Sebagian besar Flores tidak memiliki uang tunai karena itu tidak bisa bayar pajak. Untuk yang tidak bisa bayar pajak mereka harus bekerja rodi, heerendienst. Kerja rodi dan membayar belasting inilah yang menjadi sumber perlawanan di seluruh wilayah Flores.

Dalam kasus Flores, semuanya semakin ditingkatkan lagi karena tahun 1911 belasting dipaksakan, terutama karena semacam sensus penduduk Flores sudah selesai dilaksanakan tahun 1907. Kekerasan demi kekerasan memang dilakukan Belanda. Karena itu puluhan brigade didatangkan ke Flores untuk menjaga keamanan dengan kekerasan senjata. Letnan Christoffel, bersama divisi maréchaussée, atau yang terkenal di Indonesia sebagai marsose, menjadi mashur sebagai tukang jagal yang menyebarkan teror, dan penindasan ke hampir sebagian besar pulau Flores demi memperlancar pembayaran pajak dan pekerjaan rodi.

Namun demikian, di bidang pemerintahan ada titik terang karena selain pemerintahan kolonial Belanda: Residen, Assisten Residen juga controleur, Raja Pius Rasi Wangge masih memainkan peran aktif. Raja dan pemerintahan distrik adalah orang pribumi dengan diperhitungkan tata adat yang berlaku.

Tahun 1924 sejak pembubaran Kerajaan Ndona, muncul suatu pengecualian dimana wilayah (ata jao) yakni Ratesuba, Mau Karo, Bhoa Feo, dimasukkan ke dalam kerajaan Lio di bawah Raja Lio Pius Rasi Wangge.

TANAH KOLEKTIF LISE DI JAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Tahun 1942 Jepang merebut kekuasaan, dimana pemerintahan kolonial Belanda diinternir. Di masa ini, wilayah Lise sudah tergabung dengan wilayah Lio yang lain menjadi Kerajaan Lio dibawah pemerintahan Raja Pius Rasi Wangge dari Wolowaru.

Pemerintahan colonial Jepang tidak berhadapan dengan rakyat secara langsung. Mereka memakai perantara yakni kaki tangan Nippon. Orang-orang yang bersalah atau dianggap melawan Jepang ditindas dan dianiaya. Pemuda dan pemudi pribumi masuk Zainendan. Semua potensi di kerahkan untuk memenangkan perang. Secara umum, Jepang gagal mengetrapkan pengaruhnya dalam kebudayaan pribumi, juga di Tanah Lise.

TANAH KOLEKTIF LISE PADA MASA KEMERDEKAAN
Sejak jaman kemerdekaan, secara administrative seluruh pulau Flores dilebur ke dalam Pemerintahan Daerah Flores. Tahun 1958, daerah Flores dihapus dan selanjutnya di tahun 1960, wilayah-wilayah dibagi dalam system pemerintahan kecamatan. Sejak saat ini, system kerajaan yang diakui masyarakat sebagai system pemerintahan yang sah, berangsur-angsur hilang.

Bersamaan dengan penerapan system kecamatan tahun 1960, Lise pecah ke dalam dua wilayah kecamatan. Lise Detu, Lise Lowobora dan Lise Nggonderia masuk kecamatan Wolowaru. Sedangkan Lise Lande dan sebagian kecil dari Lise Lowobora yang meliputi wilayah Kotabaru dan sekitarnya, masuk kecamatan Maurole (data tahun 1990).

Secara administrative, wilayah Lise dipecahkan dalam kecamatan-kecamatan. Namun, adat istiadatnya tetap utuh sejalan dengan keutuhan wilayah Lise: “ Tanah Lise alu beu-eko bewa, alu endo mbawe, eko tola ndale”. Secara adat wilayah Kotabaru, di kecamatan Kotabaru saat ini masih dan tetap di kuasai oleh Ria Bewa Wololele A di Kecamatan Lio Timur, yang dulu Kecamatan Wolowaru.

Sekian.....



Penulis: Gregg D' Jako

Sumber:
- Sejarah Gereja Katolik Fores,
- Sejarah masyarakat tanpa sejarah (Daniel Dhakidae)
- Wawancara Leo Misa Wasa /Ketua DPR-GR Ende
- Wawancara Sebastianus Sio/Kepala Desa Lisedetu.
WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: EKSISTENSI PERSEKUTUAN LISE DITENGAH HEGEMONI BELANDA DI FLORES Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi