Logo

Logo
Latest News
Tuesday, May 11, 2010

DU'A NGGA'E

Wujud Tertinggi Suku Lio-Kab. Ende, Flores
Fr. Gregorius Manuel Due, OFMConv.




Pengantar
Manusia adalah homo religius. Beberapa ahli filsafat kebudayaan seperti Zoetmulder, Driyarkara, dan Mangunwijaya mengungkapkan bahwa awal mula segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah rasa religiositas. Dengan kata lain keinginan untuk memuja Sang Pencipta mendorong terbentuknya kebudayaan setiap etnis. Memahami religiositas sebuah kelompok etnis merupakan kunci memahami kebudayaan etnis tersebut, karena kebudayaan pada awalnya diabdikan untuk mengungkapkan rasa religiositas tersebut. Sebagai bagian atau subsistem kebudayaan, agama dan kepercayaan memiliki kedudukan dan peranan yang amat penting dalam kehidupan manusia, baik secara komunal maupun secara individual. Masyarakat Flores sebagai makhluk religius umumnya menganut agama dan kepercayaan sebagai kerohanian tersendiri. Kekuatan religius dengan variasi dan dinamikanya itu melandasi dan mewarnai kebudayaan masyarakat setempat. Sebelum kehadiran agama Katolik dan agama-agama lainnya yang diakui pemerintah, orang Flores memiliki kepercayaan akanWujud Tertinggi. Wujud tertinggi dari masing-masing suku di Flores saling berbeda satu sama lain, seperti Lera Wulan Tana Ekan di Flores Timur, Mori Kraeng di Manggarai, Ngga’e Dewa di Ngada, dan Du'a Ngga’e di Lio-Ende. Kendati mereka saat ini telah menganut agama bertradisi besar seperti Katolik dan Islam, mereka tetap juga memelihara dan meneruskan nilai-nilai religi warisan leluhur mereka. Dalam tulisan ini, penulis hendak mendeskripsi tentang wujud tertinggi yang dipercayai penduduk suku Lio (salah satu suku di Flores). Sebelum sampai pada pembahasan tentang hal itu, penulis terlebih dahulu memberikan gambaran tentang suku Lio.


Selayang Pandang Suku Lio
Nama LIO diambil dari ungkapan Sa Li, Sa Iné, Sa Õné. Ungkapan Li, Iné, Õné, berarti sebaya, seibu, sekeluarga. Ungkapan ini mempunyai daya pemersatu. Walaupun suku Lio terkotak-kotak dalam berbagai tanah persekutuan, namun tetap merupakan satu suku bangsa dengan bahasa, kebudayaan, adat istiadat yang sama. Dalam ungkapan ini hendak ditonjolkan mental yang menganggap diri satu dan sama, dari satu ibu kelahiran, dari peleburan keluarga besar yaitu suku Lio. Ternyata ungkapan ini tepat untuk kependekan nama LIO. Masyarakat Lio terbagi dalam beberapa suku dan menetap di tanah-tanah persekutuan. Suku-suku yang menetap di beberapa tanah persekutuan antara lain: suku Unggu menetap di wilayah Lio Utara, suku Seko menetap di Lio Selatan, suku Lise menetap di Lio Timur, dan suku Siga menetap di bagian Barat. Selain itu, ada juga beberapa suku kecil yang mendiami masing-masing wilayah tanah persekutuan tersebut.
Masyarakat suku Lio umumnya menganut dua agama besar yaitu Katolik dan Islam. Dari keduanya, penganut agama Katolik-lah yang paling banyak. Selain kedua agama tersebut, terdapat juga penganut agama lain di suku Lio seperti Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Penganut agama Kristen Protestan umumnya berasal dari etnis Sabu, Rote, Sumba, dan Alor, sedangkan Hindu dan Budha umumnya berasal dari Bali, serta Kong Hu Chu adalah etnis Tionghoa. Agama atau kepercayaan asli juga masih dianut oleh segelintir dari masyarakat suku Lio terutama yang menetap di daerah pedalaman dan sangat terisolasi. Kepemimpinan dalam masyarakat Lio sangat ditentukan oleh kekuasaan kepemilikan atas tanah karena tanah merupakan simbol identitas kelompok. Kepemimpinan tertinggi berada di tangan Mosalaki Pu’u. Mosalaki Pu’u biasanya berperan sebagai pemimpin ritus dalam perayaan besar. Dalam menjalankan tugasnya, ia mengangkat dan dibantu oleh beberapa mosalaki lain. Pada umumnya mosalaki suatu tanah persekutuan berjumlah 3 atau 5 bahkan sampai 7 atau 9 orang. Mereka diangkat sesuai kebutuhan dalam tanah persekutuan tersebut. Pelaksanaan peran mereka selalu dikaitkan dengan kolegialitas para mosalaki. Oleh karena itu, bila seorang mosalaki melaksanakan tugasnya sendirian, terutama dalam perayaan-perayaan besar seperti perayaan tahunan, pembangunan rumah adat, dia tidak dianggap mewakili kolegialitas dan keabsahannya hilang. Dalam porsi tertentu seorang mosalaki cukup mempunyai peran yang otonom khusus dalam ritus-ritus kecil, misalnya dalam ritus membuka ladang baru, ritus menanam, dan ritus memanen. Masyarakat suku Lio mengenal pembedaan kelas-kelas sosial. Pada umumnya terdapat tiga kelas sosial yaitu kelas atas, menengah, dan bawah. Kelas atas disebut mosalaki yaitu pemimpin adat. Kelas menengah disebut ana kalo fai walu yaitu kelompok rakyat biasa. Kelas bawah disebut aji ana yaitu kelompok orang yang nasib hidupnya dijamin oleh orang lain, yang sering diidentikkan sebagai kelompok hamba (pada masa sekarang ini, tidak ada kelompok tersebut). Dari ketiganya, jumlah mayoritas didominasi oleh kelompok ana kalo fai walu, sedangkan kelompok mosalaki dan aji ana hanya segelintir saja. Pengelompokan kelas sosial ini didasarkan pada kelahiran dan kepemilikan atas tanah.


Du’a Ngga’e, Wujud Tertinggi Suku Lio
Sebelum masuknya agama-agama monoteis, masyarakat etnis Lio pada dasarnya telah memiliki sitem kepercayaan asli yang diwariskan secara lisan turun-temurun. Secara umum, sistem kepercayaan itu tampak dalam berbagai ritus dan upacara yang khas, yang umumnya terjadi dalam lingkaran hidup manusia seperti: kelahiran, perkawinan, kematian, pasca kematian. Ritus yang sama juga dilaksanakana dalam lingkaran hidup pertanian. Hingga kini ritus-ritus ini masih kerap dilaksanakan, walaupun terancam punah.
Masyarakat suku Lio-Ende memiliki konsep tentang wujud tertinggi keilahian yang dikenal dengan nama Du’a Ngga’e. Berkenaan dengan wujud tertinggi keilahian ini, sebenarnya orang-orang Lio memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain, bahkan cenderung bertentangan. Tiap-tiap tempat memiliki pandangannya sendiri dalam menggambarkan apa, siapa, dan seperti apakah Du’a Ngga’e itu. Paul Arndt, SVD, seorang etnolog dan peneliti berkebangsaan Jerman telah melakukan penelitian pada tahun 1939-1940. Ia menemukaan berbagai perbedaan konsep itu dan lalu membuat sintesenya untuk menyajikan rangkuman umum tentang konsep Du’a Ngga’e. Hal yang paling banyak persamaannya adalah bahwa, Wujud Tertinggi itu ada dua orang yakni Du'a, laki-laki, yang ada di langit, dan Ngga’e, perempuan yang ada di bawah bumi.
Du’a Ngga’e adalah bentuk kata majemuk yang terdiri atas Du'a dan Ngga'e. Sebagai Wujud Tertinggi, konsep Du’a Ngga’e itu dipercayai oleh masyarakat suku Lio telah ada sebelum segala sesuatu ada. Du’a hadir sebagai yang sulung, yang paling awal hadir dari segalanya termasuk manusia. Du’a bahkan telah ada sebelum bumi tercipta. Kata Du'a selalu berarti, ‘sulung’, ‘terdahulu’, ‘tertua’, ‘berdaulat’, ‘berpribadi tertinggi’, sedangkan konsep Ngga'e mengandung makna ‘keagungan’, penuh dengan daya, kebijaksanaan, kekuatan, kekayaan, pemilik tunggal segala sesuatu, penuh dengan keluhuran dan kemuliaan. Dalam bahasa lokal diungkapkan sebagai: Kai ina ata eo mule ngala raka (dia ini adalah orang yang mahakuasa, paling agung, eo laki ria (yang memiliki segalanya), eo bhesu bhanda (yang kaya-raya atau memiliki segalanya), eo mule ngala (yang sangat berkuasa), ka ji’e pesa pawe ( penuh dengan kenikmatan).
Ungkapan tentang keagungan dan kebesaran Du’a Ngga’e tersurat pada Du'a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana yang secara harafiah diartikan Du’a yang berkuasa di ujung bulan, dan Ngga’e yang menguasai dasar bumi yang paling dalam. Secara harafiah ungkapan itu mengandung makna posisi dan relasi vertikal orang-orang Lio-Ende pada posisi rendah dan yang menempatkan Du’a Ngga’e di tempat yang paling tinggi dan agung. Tentang posisi Tuhan yang tempatnya berada di atas segala makhluk, terungkap ungkapan Du'a gheta lulu wula (Tuhan bertakhta di ujung bulan). Ungkapan ini jelas mengambarkan suatu kepercayaan bahwa Tuhan berada di atas segala makhluk. Manusia maupun alam semesta dan segala isinya, demikian juga langit dan bumi diyakini diciptakan oleh Du’a Ngga’e. Ia berada di atas segala yang ada, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.  Selanjutnya pada bagian vertikal bagian bawah masyarakat suku Lio mengungkapkannya: Ngga'e ghale wena tana (Allah yang ada dan menguasai dasar bumi yang paling dalam). Konsep ini mengandung makna bahwa di bumi pun Ngga'e yang juga menyatu dengan Du'a memiliki kekuatan yang amat besar atas semua isi buana. Selain itu juga konsep Ngga'e mengandung makna keluhuran budi, keagungan, dan kemahakuasaan sebagaimana tercermin dalam ungkapan ata Ngga'e.
Dalam pemahaman orang Lio sifat-sifat yang berkaitan dengan jati diri Wujud Tertinggi selalu dilukiskan sebagai yang melebihi segala makhluk duniawi, manusiawi, namun tetap sungguh ilahi. Mereka wujud yang berpribadi. Wujud yang berpribadi itu dibayangkan sebagai pribadi yang bersifat manusiawi dengan cara hidup yang manusiawi pula
Du’a Ngga’e di bayangkan sebagai ens a se, memakai rumusan seperti: Du'a ada dengan sendirinya, datang dengan sendirinya atau ada begitu saja. Ngga'e ada atas kehendaknya sendiri, Ia tidak mempunyai asal, dan tidak dijadikan oleh siapa pun. Du’a Ngga’e dibandingkan dengan awan, yang asal kedatangan-nya tidak diketahui; atau dapat dikatakan bahwa kedatangannya berasal dari kegelapan yang tidak diketahui manusia.
Du’a Ngga’e adalah roh yang tak kelihatan; tidak mempunyai suara atau sekurang-kurangnya hanya dapat didengar dari suaranya. Atau dapat dikatakan bahwa Du’a Ngga’e ada seperti bayangan orang dicermin, yang dapat dilihat tetapi tidak mempunyai tubuh material. Pada umumnya orang membayangkan Du'a adalah seorang laki-laki tua dan Ngga’e sebagai seorang ibu tua.  Du’a Ngga’e adalah pengasal segala makhluk yang lain. Dia telah menciptakan segala yang ada dan karena itu ia berkuasa atas semua makhuk ciptaanya itu. Ia lebih tinggi dari segala kuasa dan segala kekuatan yang ada; menjaga dan menguasai segala sesuatu, termasuk roh-roh, malah juga suanggi (atapolo) dan karena itu juga atapolo hanya dapat merugikan orang kalau mendapat persetujuan dari Du’a Ngga’e. Nasib manusia berada di tangannya; kekayaan, kemiskinan, kebahagian dan kesusahan berasal dari padanya. Alam raya juga memberi kesaksian tentang pengetahuannya yang besar, kebijaksanaan, kebesaran, dan kemuliaanya. Ia berada di mana-mana dan tahu tentang segala sesuatu. Ia mengetahui perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk. Ia bersikap baik hati terhadap manusia. Ia mengganjar perbuatan baik manusia dan juga menghukum orang-orang yang berbuat jahat. Ganjaran dan hukuman kepada manusia itu bersifat sementara. Ganjaran yang diterima manusia di dunia ini antara lain kesehatan, kekayaan, anak yang banyak, dan lain-lain, sedangkan hukumannya berupa penyakit kemiskinan, kematian dalam keluarga terutama kematian yang tiba-tiba. Du’a Ngga’e menghukum orang karena kesalahan pribadinya, namun kesalahan ini bisa dihapus melalui nazar dan kurban. Du’a Ngga’e mempunyai kekuasaan moral yang menjaga pemenuhan beberapa perintah dan aturan, dan menghukum manusia jika mereka tidak menaatinya. Menurut keyakinan orang, ia khususnya menghukum orang yang mencaci-maki, memaki dengan kata-kata yang kotor, menghukum orang lain secara tidak adil, membunuh, mencuri, dan berbuat zinah. Banyak hal yang disebut di sini kiranya mengungkapkan katekese kekristenan, tetapi bagaimana persisnya, dan seberapa jauh pengaruhnya sulit dipastikan Selain sifat-sifat Du’a Ngga’e sebagai yang tinggi, yang melampaui manusia, dibicarakan juga sifat-sifat yang tidak layak baginya atau bahkan bagi manusia sendiri. Alasannya yang mendasar ialah bahwa wujud tertinggi dimasukkan ke dalam astramythologia, penghormatan dan pengilahian alam. Karena itu sifat-sifat khas dari unsur-unsur langit dilengketkan kepadanya, walaupun pada permulaan mereka mungkin hanya dipahami secara simbolis, tetapi kemudian arti simbolis ini dilupakan dan kemudian dilihat sebagai sifat yang sebenarnya dari wujud yang tertinggi itu.
Masyarakat suku Lio juga mengonsepkan dan meyakini Tuhan yang hadir itu konkret dan dimanifestasikan secara simbolis dengan ungkapan wula leja, ‘bulan-matahari’ karena kedua benda langit raksasa itu memancarkan sinar, cahaya, terang, dan sumber kehidupan manusia, alam semesta dan sumber daya kehidupan itulah yang ada dalam Du’a Ngga’e.


Berkontak dengan Du’a Ngga’e
Sebagai bagian dari sistem religi, masyarakat suku Lio juga memiliki doa. Doa atau sembahyang yaitu momen penciptaan relasi antara manusia dengan sang khalik yang dalam masyarakat tersebut disebut dengan istilah batu na’u. Batu na’u itu bersifat oral, fungsional, dan kontekstual, sesuai dengan kegiatan sosial budaya berdimensi religius dengan aneka konsep doa pula  Salah satu doa yang dipersembahkan waktu sakit adalah sebagai berikut: Aku iwa ka bebo, iwa ka ngadho. Aku pati ka, ti’i pesa pati kau. Aku soro somba kau no’o telo moda. Medu tebo keta, lo ngga. Ma’e sai bore, ma’e sai baja. Doko to’o dhanda mbana. Ina aku ngoso bu lega kau, nitu io iju kipu, pa’i kinga tema.
Artinya:  Aku tidak mengabaikan, tidak melupakanmu. Aku memberikan makanan untukmu. Aku mempersembahkan telur utuh untukmu. Hendaknya tubuhku menjadi sehat, badanku menjadi segar, tidak boleh ada lagi pilek, tidak ada boleh ada lagi penat. Pikulah dan bawalah pergi (bahan persembahan). Aku minta kepadamu nitu yang berhidung kecil, pa’i yang bertelinga tak berlubang. Penghormatan yang diberikan kepada Du’a Ngga’e disebut sebagai keharusan: ‘karena Du’a Ngga’e telah menjadikan kita’. Penghormatan kepadanya diungkapkan melalui doa dan permohonan yang singkat misalnya, permohonan pengampunan, pernyataan maaf dan kerendahan hati, menegaskan ketidakbersalahan, keluhan dan juga pemujaan. Umpamanya Du’a Ngga’e disebut Du’a Ngga’e ria, raja ria, Ngga’e ria bewa (Tuhan yang agung, raja yang besar, Tuhan yang mahakuasa). Ia dihormati dalam sumpah dan kaul, melalui nyanyian dan tarian, dalam kutukan dengan namanya, dan kebanyakan melalui persembahan-persembahan. Tetapi penghormatan dilakukan pula dengan kesadaran dan tindakan. Permohonan yang disampaikan pada waktu membawakan persembahan umumnya berkisar pada barang-barang yang konkrit melulu. Kehidupan religi ditandai pula oleh peristiwa dalam wujud ritual yang sakral sifatnya dan melalui ritual itu tercipta suasana emosional dan relasi yang transendental dengan kekuatan dan kekuasaan yang adikodrati. Kegiatan yang bertujuan menciptakan hubungan dengan Du’a Ngga’e ini juga muncul dalam masyarakat suku Lio. Ritual sebagai salah satu sarana dan syarat hidup keagamaan itu membangun dan mewujudkan rasa religiositas suku Lio. Suku Lio meyakini bahwa bantuan Du’a Ngga’e dapat diperoleh dengan memanjatkan doa dan membawakan sesajen. Dengan tanda-tanda lahir ini mereka mengakui kekuasaan Du’a Ngga’e sebagai sumber kebaikan, penyelenggara hidup dan pengawas susila. Dengan sesajen dan doa mereka mengadakan kontak dan komunikasi sehingga berinteraksi dengan Tuhan. Dalam upacara sesajen Du’a Ngga’e disapa dengan ungkapan: Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana sebagai Tuhan penguasa langit tertinggi dan Allah penguasa bumi terdalam.
Upacara menyerahkan sesajen disebut pa’a ka tana watu dan pa’a ka wula leja. Pa’a Ka berarti memberi makan, wula leja berarti bulan matahari, tana watu berarti tanah batu. Dalam mempersembahkan sesajen itu terdapat tendensi yang membedakan dua kekuatan, yakni kekuatan langit atau wula leja dan kekuatan bumi atau tana watu. Jadi sesajen ini dibawakan untuk dua kekuatan itu. Pada saat menyerahkan sesajen dalam berbagai upacara ritual dari kalender kerja ladang tahunan, suku bangsa agraris Lio merasa diri kecil di hadapan kekuatan langit tertinggi dan kekuatan bumi terdalam. Dalam upacara religi ini, partisipan dilanda getaran jiwa atau religious emotion. Mereka yakin bahwa hasil ladang bergantung pada dua kekuatan itu. Justru inilah dasar dari kelimpahan panen padi dan pembiakan hewan. Oleh karena itu, suku bangsa Lio memohon agar Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana membulirkan padi dan mata tanaman lain sampai matang untuk dipanen. Berikut ini salah satu doa yang panjatkan pada saat membawakan sesajen.
O. . . . Du'a gheta lulu wula,
Ngga'e ghale wena tana
Pane miu dhera gha ina.
Mai ka bou, pesa mondo
Aku pati Kau are kune no’o telo ndene,
wawi mera, manu mera.
Aku ngoso leka Miu Du’a Ngga’e:
medu aku le’e nge, nga baka, sogo pio,
tana ngaro, gaga bo’o, tutu ae, peni nge, wesi nuwa
Nge bhondo beka kapa!
Bo’o to’o sai, buje mbana sai, mbana beu-beu, lora bewa-bewa.
Medu aku ma’e sai ro, ma’e sai baja.
Ngai aku pati ka, ti’i pesa, pati Miu Du’a Ngga’e!


Artinya:
O . . . Tuhan di langit yang tinggi
O . . . Allah di bawah bumi
piring berisi makanan aku letakan di sini
Marilah makan bersama-sama
Aku memberikan kepada-Mu nasi kuning, telur goreng,
babi merah dan ayam merah.
Aku mohon kepadaMu Du’a Ngga’e: semoga aku mendapatkan apa yang aku minta, pinjaman diperoleh, bantuan dijanjikan, ladang menghasilkan panenan yang limpah, enau mengalirkan nira yang banyak, hewan bertambah banyak, berkembang cepat, keturunan berkembang banyak, berlapis-lapis!
Bila Engkau sudah kenyang, maka berangkatlah segera, pergilah ke tempat yang jauh, terbanglah ke tempat yang tinggi.
Semoga aku terhindar dari penyakit dan kelemahan karena aku telah memberikan makanan kepada-Mu Du’a Ngga’e.


Tempat sesajen Du’a Ngga’e harus sesuai dengan kebesarannya. Dalam kesempatan khusus sesajen di serahkan di dalam rumah atau di luar rumah. Sesajen diletakkan di pu’u mangu yaitu pada tiang raja di Sa’o ria (rumah adat). Tempat sesajen lain adalah tenda teo, jenis balai gantung dalam rumah. Ada yang mengatakan bahwa sesajen di tenda teo, itu untuk nipa moa (pelangi). Kaum adat yakin bahwa nipa moa adalah jelmaan Du'a lulu wula dalam memperjelas kehadirannya kepada manusia. Jadi sasaran utama sesajen di tenda teo adalah memberi makanan kepada langit tertinggi. Upacara sesajen dirayakan secara bergilir. Bahan sesajen ialah nasi, daging, arak (nira) yaitu bahan dari hasil kerja tangan manusia, melambangkan keterikatan batin antara masyarakat suku Lio dengan Du'a gheta lulu wula dan Ngga'e ghale wena tana. Atas undangan mosalaki, kekuatan langit tertinggi dan kekuatan bumi terdalam datang menyantap dan meninggalkan restu di wadah sesajen. Upacara pemberian sesajen ini disesuaikan dengan kalender kerja suku bangsa Lio, yakni ka po’o sebagai pemurnian tanah untuk persiapan penanaman, ka poka untuk ritual persiapan panen, dan joka ju sebagai upacara syukuran atas panen tahunan.


Refleksi Kritis
Kalau kita membandingkan antara makna Du’a Ngga’e dalam budaya suku Lio dengan konsep Tuhan Allah dalam kekristenan tak dapat dipungkiri tampak adanya kemiripan di antara keduanya.. Du’a Ngga’e adalah roh yang hadir konkret dalam hidup manusia dan dimenifestasikan secara simbolis dalam ungkapan wula-leja. Dia menciptakan segala sesuatu. Kekuasaannya maha besar, ia mengetahui segala sesuatu. Ia mengganjari perbuatan yang baik dan menghukum yang jahat. Di sini hampir semua unsurnya sama dengan Allah dalam kekristenan yang kita imani.
Gereja Katolik lewat pelbagai usaha inkulturasi dengan budaya lokal juga mengambil nama Du’a Ngga’e dalam menerjemahkan kata Tuhan Allah yang diimani dalam kekristenan. Dalam teks Kitab Suci, nyanyian, doa berbahasa Lio kata Tuhan Allah diterjemahkan dengan kata Du’a Ngga’e ini. Mungkin sebagian besar masyarakat Lio yang hidup di zaman ini tidak bisa lagi membedakan antara Allah dalam kekristenan dengan Du’a Ngga’e dalam budaya Lio. Penulis pun pada awalnya berpandangan demikian juga, namun setelah membaca kajian-kajian para peneliti, penulis mulai memahami perbedaannya. Konsep yang agak berbeda tampaknya terletak pada pandangan bahwa Du’a Ngga’e itu 2 orang. Du'a adalah seorang lelaki tua, dan Ngga'e adalah seorang wanita tua. Du'a berkuasa di ujung bulan (dua gheta lulu wula) dan Ngga'e berkuasa di dasar bumi yang paling dalam (Ngga’e ghale wena tana). Du’a Ngga’e pada dasarnya bukanlah monoteisme murni, walaupun dalam ibadat kristen masa kini dijadikan monoteisme kristiani.
Du’a Ngga’e dalam religi asli suku Lio bersifat dualistis. Sedangkan iman Kristen bersifat monoteis. Allah Trinitas, dipahami ada satu Allah tetapi mempunyai tiga pribadi. Ketiga pribadi ini yakni : Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Trinitas itu satu Allah, bukan tiga Allah. Allah Yang Maha Esa tidak berhenti menjadi tunggal karena Ia Tritunggal. Simplisitas Allah itu berarti bahwa segala kesempurnaan yang kita akui ada pada-Nya menyatu dengan ‘mengada”-Nya sendiri. Semua kesempurnaan itu tidak ditambahkan pada hakekat Allah, tetapi melekat padanya. Allah itu agung dalam Diri-Nya sendiri, oleh keagungan-Nya sendiri.
Kesatuan Allah itu tampak dalam satu kodrat, satu keallahan, satu kemuliaan, satu kehendak, dan satu kegiatan. Oleh karena itu, tiada keaktifan yang melibatkan hanya Bapa saja, atau hanya Putra saja atau hanya Roh Kudus saja. Terhadap alam dunia, Allah – maksudnya ketiga Diri Allah Tritunggal – merupakan satu asas. Karya-karya allah Tritunggal tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiga pribadi ilahi selalu bekerja dalam harmoni.


Para ahli sebelumnya telah melihat hal ini. Ada polemik yang terjadi di antara mereka ketika menerima nama Du’a Ngga’e sebagai nama monoteisme murni kekristenan. Pihak yang menolak mendasarkan alasan bahwa nama ini tidak cukup mengungkapkan monoteisme kekristenan. Namun demikian pihak yang menerima mendasarkan argumennya pada pernyataan bahwa sebagian besar masyarakat suku Lio menganggap Du’a Ngga’e itu esa. Polemik pastoral ini diakhiri dengan kata sepakat yang melazimkan nama Du’a Ngga’e sebagai nama monoteis untuk digunakan dalam ibadat kristiani. Dengan demikian sejak puluhan tahun nama Du’a Ngga’e dipakai untuk mengungkapkan keesaan Tuhan.
Kini setelah penulis mengetahui konsep Du’a Ngga’e sebenarnya, penulis kurang setuju kalau Allah diterjemahkan dengan kata Du’a Ngga’e karena perbeadaan konsep ini. Setiap kali menyebut Du’a Ngga’e yang dimaksud dalam iman Kristen, penulis langsung terarah pada konsep Du’a Ngga’e seperti dalam etnis Lio. Jelas ini tidak menolong penulis untuk sampai kepada Allah sebagaimana yang penulis imani. Mungkin lebih baik kalau menggunakan nama Tuhan Allah sebagaimana dalam bahasa aslinya sehingga kita tidak jatuh pada konsep berbeda yang diangkat dari budaya lokal. Inkulturasi memang perlu tetapi jika terjadi pada hal-hal yang sukar dicari padanannya dalam budaya lokal, lebih baik mempertahankan apa yang terdapat dalam sumber aslinya.




DAFTAR PUSTAKA

Arndt, Paul. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah), (judul asli: Dua’ Nggae, Das Hochste Wesn Im Lio-Gebiet (Mittel-Flores), diterjemahkan oleh Yosef Smeets, SVD, dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

Mbete, Aron Meko, dkk., Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende, 2004.

Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I: Allah Penyelamat. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Orinbao, Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-bangsa Lio, Ledalero: Seminar Tinggi St. Paulus, 1992.

Snijders, Adelbert, Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:Kanisius, 2004.

Taum, Yoseph Yapi. Rasa Religiositas Orang Flores, http://endonesia.net/modules/ documents/files/Religi-Flores.doc, 9 Februari 2007

Wake, Petrus. Kebudayaan Suku Lio. Bekasi: Yayasan Bina Insan Mandiri, 2003.
WANES-LISE
  • Facebook Comments
Item Reviewed: DU'A NGGA'E Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi