11 Juni 1855, dua ilmuwan Jerman, yaitu Gustav Kirchoff dan Robert Bunsen berhasil memisahkan spektrum warna yang menyusun cahaya matahari dengan menggunakan prisma. Pemisahan warna-warna matahari ini juga terjadi secara alami ketika munculnya pelangi setelah terjadinya hujan.
Pelangi merupakan hasil proses pemisahan warna-warna matahari oleh tetesan-tetesan air. Jauh sebelumnya, tahun 1700-an, Newton telah menemukan konsep tentang spektrum cahaya, yaitu bahwa cahaya putih ternyata merupakan gabungan dari spektrum yang terdiri dari warna-warni pelangi. Fenomena munculnya pelangi tentu merupakan sesuatu hal yang biasa dalam bidang teknologi. Kendati demikian, dalam pandangan orang Lio, munculnya pelangi merupakan peristiwa yang sangat mendatangkan berkah. "Pelangi" dalam bahasa Lio (Flores NTT) sering disebut "Nipa Moa". Nipa berarti Ular dan Moa berarti Haus (kehausan) Jauh sebelum mengenal teknologi canggih, masyarakat Lio kerap melihat Nipamoa sebagai fenomena alam yang sangat luar biasa dipandang sehingga masyarakat beranggapan bahwa kemunculannya sebagai berkah yang diberihkan Yang Maha Kuasa untuk kesuburan tanah disekitar.
Dari berbagai sumber legenda yang masih samar, acap kali muncul pula cerita magis mengenai kehadiran nipamoa dalam tataran kehidupan sosial budaya masyarakat Lio. Sejak Ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, masyarakat Lio sering mengkaitkan dan menghubungkan nipamoa dengan tata cara bercocok tanam agar mendatangkan hasil yang melimpah dari sawah dan ladang. Sehingga kadang masyarakat beranggapan bahwa "Nipamoa" sebagai sesosok mahluk yang berwujud mirip ular dalam pewayangan yang turun dari langit.
Mitos mengenai nipamoa itu sendiri bahkan telah membahana dari generasi ke generasi sehingga sulit ditampik dari kebiasaan kehidupan masyarakat Lio. Pembuktian mengenai legenda mahluk yang mirip ular ini tentunya didasari pengalaman nyata dari masyarakat Lio itu sendiri sehingga munculah berbagai spekulasi tentang nipamoa.
Meskipun selalu dikaitkan dengan sosok mahkluk yang mirip ular namun hal ini tidak serta merta melahirkan perspektif yang menyeramkan pula, justru sebaliknya masyarakat selalu beranggapan bahwa nipamoa adalah suatu keagungan dan kecantikan semesta serta dihiasi keindahan berbagai warna - warni yang tertampak seperti dalam lagu-lagu kanak-kanak yang sering terdengar. Konon, menurut cerita masyarakat setempat, pada saat kemunculan nipamoa, yang pertama sekali diperhatikan adalah posisi dan arah turunnya pelangi serta posisi aliran air (kali) sehingga muncul pula berbagai dugaan dari masyarakat.
Berikut ini Sebagai contoh untuk menguatkan dugaan masyarakat tersebut adalah: Pada saat hujan turun, misalnya di wilayah Kelimutu secara tidak terduga tiba-tiba Nipamoa muncul disekitar danau Kelimutu, maka munculah berbagai pemikiran masyarakat bahwa Nipamoa tersebut turun dan minum air di danau kelimutu dan tempat itu telah diberihkan berkah. Bahkan ada pula orang - orang tertentu yang menyatakan diri berpapasan secara langsung dengan sosok mahkluk mirip ular yang turun dari langit yaitu nipamoa seperti dalam dongeng (Fiksi), sehingga orang tersebut dianggap mempunyai kesaktian yang luar biasa yang didapat dari atau dalam bahasa Lio disebut "Sakasera".
Dari sederet fenomena tentang nipamoa, hal yang paling menakjubkan adalah adanya sinkronisasi mutlak antara nipamoa dan pola bercocok tanam masyarakat setempat. Bukan itu saja, bahkan masyarakat Lio sangat mahir menguraikan dan menghubungkan semua benda-benda langit seperti rasi bintang, bulan dan matahari sebagai patokan untuk bertani ataupun berladang sebagaimana hal yang sudah dilakukan secara turun temurun dan itu terbukti sangat ampuh.
Pola dan konsep semacam ini tentu sangat unik untuk jaman seperti sekarang ini yang serbah canggih. Dari segi teknologi dan ilmu metereologi tentu hal ini sangat berbanding terbalik hingga 180 derajat dengan apa yang terjadi dalam masyarakat Lio. Kendati demikian, apa yang diyakini oleh masyarakat Lio patut dihargai karena pola bertani dan berladang yang berdasarkan fenomena alam ini sudah diwariskan oleh Leluhur ribuan tahun lalu.
Itulah kebesaran Tuhan yang tidak pernah terjangkau oleh nalar manusia. Semesta yang perkasa telah menggambarkan kepada manusia dalam lintas hidup yang sangat singkat agar manusia akan terus ingat akan kebesaran Tuhan karena manusia hanyalah seperti onggokan daging dan tulang yang dapat musnah dalam sekejap.
Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Universitas Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Inspiratif
WANES-LISE
Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Universitas Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Inspiratif
WANES-LISE