Oleh : Kornelis Wiriyawan Gatu
Pada mulanya, zaman Wangge Konde generasi etnis keluarga Kune Mara menguasai wilayah itu dengan tapal batas dari Mase Bewa, Detupera hingga Koja Ana Deo, muara 2 Sungai yaitu ‘Lowo Lise’ atau Sungai Lise dan ‘Lowo Bu’Kecamatan Lio Timur atau persis lahan milik bapak David Logho yang merupakan keturunan dari Wangge Tani salah satu dari putera Tani Senda ( Wologeru ) anak Senda Woda saudara kandung Mbete Woda dan Wangge Woda Rasi. Kala itu dalam salah sebuah kesempatan, Wangge Konde mengajak seorang anak belia sekitar 10 tahun bernama Minggo Senda, putera dari Senda Tani saudara Wangge Tani yang tinggal bersama Tani Au atau disebut Tani Paga karena punya keahlian menyembuhkan penyakit seseorang hanya dengan cara menjengkalkan jari pada tangan mulai dari bahu sampai ujung jari.agar ikut bersamanya ke Pasar Paga di Paga yang kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Sikka. Dengan berjalan kaki, tempat sasaran Pasar Paga atau ‘Sambu Paga’ dicapai Wangge Konde dan Minggo Senda, anak belia yang mendampinginya itu karena dari Watuneso ke Paga kini jalur jalan negara 12 Km yang dulunya melewati jalan pintas mengikuti pesisir pantai Lia Tola, Meta Kera, Nusa Koka, Ma’u Lo’o dan tembus ke Paga. Penguasa wilayah ulayat Hebesani Lise Nggonde Ria Wangge Konde memiliki banyak teman di Paga sehingga setelah Sambu Paga, Wangge Konde yang merupakan turunan dari Ratu Jeja dan Wari Jeja ( Keluarga Kune Mara ) karena pertimbangan bersama Minggo Senda, mengurungkan niat hari itu juga untuk pulang ke Watuneso tanah kekuasaannya akibat kelelahan.
Keputusan yang diambil pun berubah, dan mereka menginap di rumah salah seorang temannya di Paga dari keturunan leluhur Toda Wiwi Ria. Dipetang hari, teman dari Wangge Konde meninggalkan mereka untuk berlayar mencari ikan kelaut agar dapat dibawah pulang oleh Wangge Konde dan Minggo Senda pada keesokan harinya menuju Watuneso. Mereka menginap di Paga, Wangge Konde mengambil posisi tidur di dalam bale-bale rumah kolom itu terpisah sedikit jauh dari Minggo Senda yang memang diarahkan oleh Wangge Konde untuk tidur dibawah kolom Gubuk atau (Kebo), tempat khusus menyimpan hasil panenan.
Tengah malam pun tiba. Entah , setan apa yang merasuki pikiran Wangge Konde sehingga ia nekat melakukan perbuatan bejatnya. Wangge Konde, yang tidur di bale-bale, kemudian nekat berpindah masuk dalam rumah dan meniduri istri dari temannya yang kebetulan malam itu meninggalkan mereka untuk melaut. Kharismatik seorang Wangge Konde membuktikan dirinya bahwa ia mampu menghipnotis istri dari temannya sendiri. Memang fatal dan kelewatan batas. Setelah peristiwa itu Wangge Konde pergi meninggalkan Minggo Senda di Paga yang masih dalam keadaan tidur pulas. Disaat subuh, teman Wangge Konde datang dengan membawah ikan dari hasil berlayarnya dan memasuki rumahnya. Sontak dia kaget setelah melihat bale-bale rumah dalam keadaan kosong dan ia pun bergegas mengetuk pintu rumah itu sambil memanggil istrinya agar segera membuka pintu. Sebelumnya membuka pintu, istrinya bertanya, Siapakah itu? Suaminya menjawab, ini aku suamimu, cepat buka kan pintu! Dengan setengah percaya, segera ia membuka pintu dan ia melihat suaminya. Betapa sangat kaget dan heran, ternyata ia telah terjebak dengan tipuan yang dilakukan oleh Wangge Konde. Sambil menangis dengan penuh perasaan menyesal, ia mengungkapkan peristiwa yang menimpa dirinya bersama Wangge Konde tengah malam tadi.Demikian dikatakan kepada suaminya; Kau baru mai pu ina, di aku sawe do ( Sesungguhnya engkau barusan tiba, tapi aku telah jatuh dalam godaan). Ebe eo roke gharu maga, nai roke no’o aku.(Tamu yang tidur di bale- bale itu, masuk meniduri aku).
Peristiwa itu membuat sang teman marah dan ingin membunuh istrinya namun kembali mengurungkan niatnya. Ia bergerak dengan cepat dalam keadaan emosinya memuncak, mendatangi gubuk atau Kebo, dan mendapati Minggo Senda seorang belia itu sedang tidur pulas. Tanpa pikir panjang, lantas menghunus pedang dan akhirnya ia membunuh Minggo Senda sebagai bayaran atau pengganti resiko akibat perbuatan amoral Wangge Konde kerabatnya.
Pagi hari saat matahari terbit, perjalanan pulang Wangge Konde pun tiba di Watuneso. Namun, karena tanpa melihat Minggo Senda, Tani Au mempertanyakan kepada Wangge Konde begini; Kau mai mesa kau, di emba Minggo ne,,?? Artinya, engkau datang sendirian, tapi mana Minggo yang kau ajak?? Kemudian Wangge Konde menjawab tanpa tedeng aling-aling dalam bahasa local; Minggo gheta mao-mao dowa ngere lako, bhobho-bhobho dowa ngere rongo, me me dowa ngere rusa yang berarti; Minggo disana melakukan perbuatan amoral, maka dia sudah dibunuh. Setelah mendengar jawaban seperti itu, Tani Au mengamuk dan berkata kepada Wangge Konde, iwa..ina dowa pu kau ne…!! Tidak, ini pasti perbuatanmu. Dari tempat itu, yang bernama Pu’u naka, sekarang kampung Kopo Watu di Watuneso, Tani Au pergi menemui Senda Tani yang merupakan ayah dari Minggo Senda di Wologeru untuk menyampaikan musibah sebagaimana menimpa Minggo Senda putera kandungnya. Tani Au menceriterakan kembali kronologis kejadian sejak awal sampai tuntas yang akhirnya mendapat reaksi serius dari Senda Tani sambil mengatakan, ai,,,,ina di ana aku eo pela, dowa pu kai ne,,!!!.
Setelah mendengar kronologis kejadian yang disampaikan oleh Tani Au atau Tani Paga, Senda Tani memyampaikan kepada ayahnya Tani Senda bahwa cucunya Minggo telah terbunuh di Paga, Tani Senda pun menjadi berang dan memerintahkan kepada anaknya Senda Tani dalam bahasa local; ina molo dowa, we’e tau no’o pu’u kai, kau pai sai no’o aji ka’e kau soli eja kera kau, miu wika sai Wangge Konde. Artinya; baiklah sehingga ada dasar alasannya, sekarang segera panggil adik dan kakakmu, serta ipar-iparmu, usirlah Wangge Konde sebagai akibat dari kesalahan berat yang telah dibuatnya itu..
Senda Tani melaksanakan perintah ayahnya dan berkolaborasi dengan kakaknya Senda Logho atau Senda Aje, sekarang keturunannya bapak Nikolaus Loba, Jitapanda Watuneso sekaligus bersama-sama Tani Au mengusir Wangge Konde dari wilayah kekuasaannya di Hebesani Lise Nggonderia Pada saat bersamaan, Tani Senda mengangkat senjatanya di Wologeru yang bernama Ndeto Peto Au Ila dan menembak 3 kali keatas langit. Namun, tembakan babo Tani Senda tidak dibalas oleh Wangge Konde dengan tembakan juga. Seketika itu, Wangge Konde ta’u paru, ga mbana, gole wolo, lepo keli atau takut dan lari menyeberangi gunung menuju wilayah kekuasaan Sanggu Tani atau Sanggu Ratu Rabu di Wolomari. Olehnya, hingga kini ada sejumlah keturunan keluarga Kune Mara dari Wangge Konde yang tinggal di wilayah Ndori dan sekitarnya. Setelah Wangge Konde melarikan diri karena takut, Tani Senda di Wologeru berseru dengan suara lantang atau disebut bhea ( bahasa Lio berarti, ( ungkapan yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda menunjukan kebesaran dan kemenangan). Demikian bhea Tani Senda; Ndeto peto au ila. Ndeto peto pate ndeto, au ila poka au. Tana neku ria dowa ngere nipa, bewa dowa ngere sawa. Seruan kemenangan itu, merupakan pintu awal perebutan kekuasaan ulayat tanah Hebesani dari penguasa Wangge Konde.
Fakta sejarah inilah yang memberi legitimasi sah terhadap status Laki Koe Kolu Hebesani dan Lise Nggonderia secara umum yang kini sampai pada generasi Yohanes Nusa atau lebih dikenal Jhoni Logho di Watuneso. Keberadaan fungsional status Mosa Laki ini bukan atas pemberian melainkan perebutan kekuasaan atas alasan terbunuhnya Minggo Senda sang anak belia. Dasar itu juga sesungguhnya menjadi sah dan mutlak atas status Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Sehingga munculah bahasa adat yang menegaskan eksistensi status fungsi adat dimaksud yakni; “Laki kami iwa eo pati. Laki kami eo t’ego no’o tebo, to’o no’o lo, mule,no’o tebo. Laki kami eo wika tei tana” artinya bahwa, status fungsi adat kami bukan atas dasar pemberian melainkan perjuangan perebutan kekuasaan sebagai reaksi setelah meninggalnya Minggo Senda.
Sekian…!!!
Salam penulis
Kornelis Wiriyawan Gatu
Pemerhati masalah Kebudayaan Lokal
Sumber sendiri!