Logo

Logo
Latest News
Monday, December 7, 2009

KULTUR SENI DAN BUDAYA FLORES - LEMBATA DALAM PAGELARAN 2009






Sebulan terakhir ini, kawan-kawan di Dinas Hubparkom Manggarai Timur, yang dikomandani oleh kepala dinasnya Bapak Agustinus Kano Umak, sangat sibuk mengadakan persiapan bagi penyelenggaraan Festival Seni Budaya Flores Lembata yang telah berlangsung pada tanggal 20-23 Nopember 2009 lalu.

Sebagai tuan rumah, kabupaten bungsu ini tentu berusaha keras untuk menyiapkan penyelenggaraan festival ini sebaik mungkin. Apalagi, kesempatan menjadi tuan rumah bagi event sebesar ini adalah kesempatan terhormat bagi Kabupaten Manggarai Timur, meskipun tentu saja dengan segala keterbatasannya. Buat saya, kepercayaan ini harus dimaknai sebagai kesempatan memperkenalkan wajah Manggarai Timur dengan segala potensinya yang ada, selain seni dan budaya.

Ada beberapa mahasiswa Flores di Jakarta menulis di facebooknya, mengungkapkan harapannya agar Festival Seni Budaya Flores-Lembata ini mengagendakan juga ide pembentukan Propinsi Flores. Ini dapat diterima sebagai salah cara memaknai event besar tersebut. Namun, terkadang sulit memenuhi harapan itu, bukan pada contentnya, tetapi terlebih pada konteksnya.

Saya sungguh yakin bahwa Festival ini digagas dengan sebuah kesadaran dan semangat untuk memuliakan nilai-nilai luhur dari realitas keberagaman dan kekayaan seni-budaya manusia Flores-Lembata demi mempertahankan identitas diri dan kultur. Karena itu, ide beberapa mahasiswa itu tidak didiskusikan di sini.

Menebak isi hati dari para penggagas Festival Seni Budaya Flores-Lembata ini, muncul beberapa hal yang akan diuraikan di sini. Pertama, harus ada keyakinan bahwa seni budaya adalah bagian eksistensial dari diri kita sendiri (manusia Flores-Lembata). Festival ini adalah cara lain untuk menegakkan identitas ke-floreslembata-an kita, serentak melawan pelupaan terhadap entitas, etnisitas, dan identitas sebagai daerah multikultural.

Entitas memang merupakan pilihan yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi, sebab bila kita lalai maka bola globalisasi akan melindas dan menghomogenisasi kita. Dan pada saat itu, kita tidak lebih nilainya daripada bangkai-bangkai yang berjalan. Namun kini waktulah yang akan menentukan arti dari semua ini, karena paling tidak satu hal telah dimulai, yakni menegakkan identitas kita lewat pagelaran festival seni budaya Flores-Lembata ini.

Kedua, kondisi seni dan budaya Flores-Lembata masih diwarnai oleh keseragaman masalah minimnya dokumentasi dan publikasi yang terencana, tidak sistematis, tidak terawat dan atau sulit diakses masyarakat luas. Tentu saja Festival ini tidak serta merta bisa menjadi obat mujarab untuk soal yang seragam serta pelik itu. Hanya saja kita berharap agar festival seni budaya ini mampu menjadi pusat informasi, bukan sekadar menjadi arena berhibur-riah.

Atau dalam usulan yang lebih trendi, saya kira Festival Seni Budaya Flores-Lembata ini perlu menelurkan sebuah rekomendasi seperti terbentuknya Rumah Seni dan Budaya Flores-Lembata yang bertugas melakukan eksplorasi, penelitian, pelacakan serta merumuskan suatu "Strategi Kebudayaan Flores Lembata" untuk masa depan dalam kaitannya dengan ke-NTT-an dan tentu ke-Indonesia-an kita di tengah-tengah gelombang dan deru globalisasi. Rumah inilah yang merumuskan strategi kerja kebudayaan untuk lima tahun dan bertemu setiap tahun untuk melakukan evaluasi kritis-dialogis, yang strategi operasionalnya dilakukan oleh "Dinas Budaya dan Pariwisata" setiap Kabupaten. Rasa-rasanya jika Festival ini menghasilkan rekomendasi yang jelas, maka kita tak perlu lagi bertanya ”Where Are You Going?”.



Bukan Seni An sich

Yudi Aryani dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, jauh-jauh hari, telah mengingatkan kita tentang perlunya memperhatikan kualitas sebuah pertunjukan, meskipun itu hanya dalam rangka festival yang biasanya tidak dilombakan. Banyak proses karya seni sering mendadak dipertunjukkan, asal comot, dan orientasinya pada hasil. Prosesnya tentu saja diabaikan, sehingga yang terjadi adalah anak-anak sekolah yang mudah dimobilisir dengan biaya murah ’dibajak’ untuk mengisi event-event festival. Karena itu, jangan kaget kalau banyak pertunjukan dalam festival tidak deep alias dangkal dan ’maaf’ instan.

Kritik Aryani mungkin lebih kepada festival-festival di Jawa atau di kota besar lainnya, tapi buat kita di Flores-Lembata, intinya adalah bahwa ini adalah seruan yang sifatnya awasan agar kita tidak juga terjebak dalam hal-hal yang dicemaskan itu. Saya sangat percaya, jika proses pembinaan sanggar-sanggar diintesifkan seperti yang sedang digalakkan di Manggarai Timur saat ini, dan tentu saja di semua Kabupaten Flores-Lembata, maka lupakanlah seruan Yudi Aryani itu.

Dalam konteks Festival Seni Budaya Flores-Lembata ini, setidaknya terdapat dua organ utama. Pertama, organ seni yakni aktraksi (performing art) yang tendensinya pada seni pertunjukan seperti teater, tari, musik modern dan etnik, dan seni lain seperti seni rupa, fotografi dan film. Kedua, organ budaya yang bertutur tentang adat istiadat, filosofi, nilai, perilaku, pranata, sejarah dan lain-lain. Dalam banyak kasus, kedua dimensi ini muncul dalam identitas berbeda, bahkan tidak jarang perhatian para seniman lebih kepada bagaimana menampilkan sebuah produk seni di atas panggung, yang ’kadang-kadang’ tanpa sadar mengasingkan nilai-nilai budayanya sendiri.

Pertunjukan secara parsial macam ini menyebabkan setiap festival yang kita gelar miskin nilai, atau dalam istilah yang kerap saya sampaikan: miskin identitas. Nur sahid (2003:12), dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, melihat hal ini sebagai aroma ‘salah’ yang kental dalam festival. Seniman cenderung melupakan latar sebuah kesenian, padahal seni adalah produk kebudayaan, yang harus juga dilihat sebagai satu grand packaging yang utuh.

Dengan demikian, diharapkan agar dalam sajian festival yang akan datang ini, setiap pengisi acara mempertimbangkan komposisi yang lebih proporsional, baik dari segi latar cerita atau karya, aturan baku sajian seni itu, sikap, syarat formal kultural sebuah karya seni (khususnya seni pertunjukan), setting yang menjelaskan kapan, bagaimana, siapa saja, di mana sebuah seni itu dilakukan, serta macam-macam hal lain yang biasanya menggambarkan bagaimana sebuah karya seni rakyat atau kesenian rakyat itu dilahirkan oleh sebuah kebudayaan yang juga syarat nilai, dan patut untuk mendapat perhatian penonton.

Jika ini bisa terjadi maka seharusnya festival Flores-Lembata yang akan datang tidak sekadar menampilkan atraksi yang mengundang decak kagum, tetapi juga syarat nilai, berkarakter, dan akan menjelaskan sebuah kekuatan multikultural yang dasyat dan bernilai pelestarian. Jika kebudayaan adalah cangkangnya, maka seni itu adalah sesuatu yang berdiam di dalamnya. Tentu sungguh tidak etis, jika seni melupakan cangkangnya. Selamat datang di Manggarai Timur.

Hapus Kiriman
  • Facebook Comments
Item Reviewed: KULTUR SENI DAN BUDAYA FLORES - LEMBATA DALAM PAGELARAN 2009 Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi