Logo

Logo
Latest News
Saturday, December 28, 2019

Ketika Jenderal Pendeta Berkhotbah di Jerman

Kolonel Donald Isaac Pandjaitan bersama istri


Perwira TNI asal Balige itu menyampaikan firman Tuhan bagi jemaat di Jerman. Menyisipkan pendekatan budaya dan sejarah tentang siar agama Kristen di Tanah Batak.

Oleh Martin Sitompul


Ketika menjabat Atase Militer (Atmil) Indonesia untuk Jerman, Kolonel Donald Isaac Pandjaitan punya pengalaman berkesan. Pendeta de Kleine, tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen mengundangnya untuk memberikan ceramah. Dengan senang hati, Pandjaitan menerima undangan Pendeta de Kleine. Momentum itu berlangsung pada tahun 1960.  

“Mungkin maksudnya agar masyarakat Jerman mengetahui dan bangga, bahwa ada perwira TNI yang berasal dari Tanah Batak, tempat Mission Zending bertugas menyebarkan agama Kristen di sana sejak sebelum penjajahan,” kenang istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.

Kesediaan Pandjaitan bukan tanpa alasan. Sedari kecil waktu tinggal di Tarutung, Pandjaitan dibesarkan dalam lingkungan sekolah Zending Batakmission yang didirikan misionaris Jerman, Inger Ludwig Nommensen. Uniknya, Pandjaitan diminta mengenakan seragam formal TNI sedangkan istrinya memakai kebaya sebagai perlambang kebudayaan Indonesia. Dan tentu saja, Pandjaitan menyampaikannya dalam bahasa Jerman. 

Pandjaitan membuka khotbahnya dengan kelakar: “Dunia bisa berubah. Kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah kepada orang Batak, nanti bisa terbalik, orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah kepada orang Jerman.” Para jemaat yang hadir mengiyakan sembari tersenyum.

Khotbah Pandjaitan dilanjut dengan mengenang ihwal mula penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Menurut Pandjaitan, gerakan misionaris Jerman melalui institusi pendidikannya meninggalkan warisan berharga bagi masyarakat suku Batak yang telah menerima ajaran Kristus. Peranan Batakmission yang dipelopori Nommensen kadang membuat orang-orang Batak bertanya dalam keheningan. 

“Mengapa justru orang Jerman yang berhasil memperkenalkan agama (dan pendidikan) ke kami Batak? (Mengapa bukan Belanda). Jawab: “Tentu ada maksud Tuhan!,” kata Pandjaitan. Naskah khotbah Pandjaitan setebal tujuh halaman ini termuat dalam laman yang dikelola keluarga Pandjaitan.

Pandjaitan juga mempromosikan kehidupan toleransi beragama di Indonesia.  Dia mengatakan lambang salib turut menghiasai nisan Taman Makam Pahlawan Indonesia yang merupakan pusara terakhir bagi para prajurit dan pejuang. Ini membuktikan semua anak bangsa Indonesia ikut berperang dan berkorban demi kemerdekaan tanpa membedakan agamanya.

Kepada jemaat Wuppertal-Barmen, Pandjaitan menekankan betapa pentingnya bertahan dalam iman. Kegelisannya yang paling utama ditujukan kepada generasi muda. Menyitir laporan penelitian “Kinsey Report” tahun 1958, Pandjaitan mengungkapkan sebagian besar pemuda di Amerika telah meninggalkan gereja dan norma agama. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan budaya, termasuk musik rock n roll turut mempengaruhi.
“Karena mereka tidak TAHAN. Karena ajaran-ajaran Tuhan sudah tidak dianggap. Karena pemuda menjadi lemah maka cahaya kata kata Tuhan di hati mereka menjadi mati,” ujar Pandjaitan.

Untuk meningkatkan daya tahan dari cobaan, kata Pandjaitan, kita perlu selalu mencari cahaya Tuhan. Dia berpesan kepada pemuda Jerman yang ada di jemaat itu agar terus maju ke depan membela negara dan bangsa terhadap serangan atheisme dari Jerman Timur. Karena menurut Pandjaitan, pemuda adalah darah dari suatu bangsa. Pemuda yang tidak mempunyai nasionalisme akan menjadi malapetaka bagi negaranya.

“Pemuda yang sudah tidak lagi menghargai orang tuanya dan menolak bertemu pada Natalan akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Nasib masa depan Kristen terletak pada pemuda-pemuda ini,” tegas Pandjaitan.

Wejangan ini dipungkasi Pandjaitan dengan mengutip surat dari Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 yang berbunyi: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Khotbah Pandjaitan yang mengesankan itu ditutup dengan menyanyikan bersama lagu  yang diciptakan oleh Martin Luther “Ein feste Burg ist unsere Gott” (Benteng yang Kokoh adalah Tuhan Kami).

Berita Pandjaitan berkhotbah di Jerman terdengar sampai Jakarta, khususnya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Pada pertengahan 1962, Pandjaitan menjadi Asisten IV Menteri Panglima AD yang membidangi logistik.  Letjen Ahmad Yani yang menjadi Menteri Panglima AD menjuluki Pandjaitan dengan sebutan hormat: jenderal pendeta.
Next
This is the most recent post.
Older Post
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Ketika Jenderal Pendeta Berkhotbah di Jerman Rating: 5 Reviewed By: Trias Politika