Sebuah resensi: Musso Si Merah di Simpang Republik
Oleh Marlin Bato
Jakarta, 12 Februari 2016
Seri buku TEMPO
Cetakan pertama, januari 2011
Cetakan kedua Agustus 2015
Gramedia Jakarta
Bertahun-tahun penguasa Orba menempatkan orang-orang kiri sebagai mitos sejarah yang haram untuk diwacanakan.
Kami sadar bahwa kami bukan sejarawan. Kami bekerja tidak dengan perangkat metodologi yang kaku, melainkan dalam semacam permainan keseimbangan. Kami mempertimbangan ketepatan data, kepatuhan tenggat, dan keinginan mengangkat pesona sejarah ke permukaan”
Itulah sepenggal testimoni yang dituliskan Redaktur Eksekutif majalah TEMPO ini dalam kata pengantarnya. Buku berbau ilmu jurnalistik investigasi yang dipadukan dengan hasrat pengungkapan sejarah menjadi sangat apik apabila dibahas dengan lugas dan dalam takaran yang pas. Kita tahu selama ini banyak sekali hal yang berkaitan dengan peristiwa infiltrasi komunisme Indonesia yang telah dikubur dalam-dalam oleh pemerintahan Orde baru. Mungkin paham ini bagi mereka dianggap semacam Rahwana yang memiliki ajian Pancasona.
Seorang pria bertubuh gempal, waktu kecil rajin mengaji, kerap dijuluki Paul Mussotte sebagai sosok pemberani, yang jago berkelahi sekaligus jago pidato. Dialah Musso bernama lengkap Munawar Musso, lahir pada tahun 1987 di kabupaten kediri Jawa timur. Sejak remaja ia telah aktif di Sarekat Islam lalu terlibat di organisasi-organisasi pergerakan lainnya.
Pada setiap kesempatan, ia selalu berpidato dengan garang. Di masa awal kemerdekaan, sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa disejajarkan dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka. Ia juga pernah menjadi guru politik bagi Bung Karno. Itulah sebabnya Bung Karno sangat mengagumi sosok Musso. Musso memang pernah menjadi sahabat Soekarno pada masa pergerakan. Dia lebih tua empat tahun dan sama-sama masuk sekolah HBS Surabaya.
Berpisah selama hampir tiga dasawarsa, Soekarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus1948 di istana negara. Seperti dikutip Soe Hok Gie, dengan bangga Bung Karno bercerita kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. "Musso ini dari dulu memang jago. Ia paling suka berkelahi. Ia jago pencak , kata Bung Karno". Saya inikan masih muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto, dan pak Musso..!! Hal ini dikisahkan bung Karno untuk memperlihatkan kekiriannya.
Namun setelah tiga puluh tujuh hari setelah pertemuan itu, pecah peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki, karena Musso mendalangi peristiwa itu. Meski begitu, rasa hormat Soekarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Sebagaimana dikutip Cindy Adam Bung Karno menuturkan; Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua".
Dalam sebuah propaganda melawan Belanda di Solo, Musso membuka pidatonya dengan teriakan keras dan lantang: Menang Perang..!! Seorang Mahasiswa Universitas Gajah Mada bertanya dengan nada skeptis, Apa kita mampu perang melawan Belanda dalam kondisi kita seperti sekarang..?? Musso dengan lantang bersuara keras, Ini Musso kawanku..! Yang pernah berperang melawan fasis di Italia.
Perlawanan-perlawanan yang di lakukan Musso terhadap Belanda bukanlah tanpa perencanaan. kehadirannya dalam forum-forum internasional, rencananya untuk menemui Stalin untuk persetujuannya atas aksi pemberontakan PKI di Indonesia pada masa akhir penjajahan Belanda membuat beliau menjadi tokoh PKI yang sangat disegani.
Licinnya pergerakan Musso dalam meloloskan diri dari setiap pemberontakan yang dilakukannya, baik perkelanaannya ke luar negeri hingga penggalangan diplomasi dengan Uni Soviet pun dilakukannya.
Musso banyak belajar politik di Moskow, Rusia dan mengamati dari dekat strategi Komunis Eropa. Ia bermimpi tentang negeri yang adil, setara dan merdeka seratus persen. Maka jalan radikal adalah pilihannya, sekalipun harus bersimpang dengan kalangan nonkomunis ataupun kalangan kiri yang tak segaris. Tetapi justru jalan radikal itu tak membuatnya bertahan. Ia lumat dalam gerakan yang masih berupa benih.
Dari Madium, Musso menggagas "Jalan Baru", yang radikal dan terbuka. Namun aksi kerusuhan PKI-nya yang gagal di Madiun menyebabkan ribuan pengikutnya dibantai. Peristiwa Madium meletus, operasi penumpasan pemberontakan hanya dilakukan dalam semalam. Hampir 200 simpatisan serta tokoh PKI ditangkap, pers yang berafiliasi dengan PKI dibredel. Banyak yang mengungkapkan bahwa aksi yang dilancarkan di Madiun tersebut begitu belum matangnya, sehingga mampu di sapu bersih dalam waktu singkat. Jalan baru ala Musso akhirnya kalah total. Akhir Oktober 63 tahun lalu Musso tersungkur oleh timah panas tentara yang memburunya. Maka berakhirlah cerita petualangan Musso.
Buku yang mengulas perjalanan gerakan Mussotte ini banyak mengungkapkan fakta-fakta yang tidak pernah diketahui publik selama ini akibat stigma revolusi PKI yang selalu dianalogikan negatif. Tragedi 1965 telah melahirkan konflik dan trauma menahun. Karena kisah tentang tokoh komunis sangat mungkin melahirkan kontroversi. Maka pengungkapan fakta-fakta tersebut meski di era keterbukaan seperti sekarang, metode jurnalisme kepiting kerap menjadi landasan kuat untuk mempertahankan eksistensi kebebesan pers. Jurnalisme kepiting diasosiasikan - berjalan hati-hati di pantai, maju selangkah untuk kemudian mundur jika capit mengenai kaki.
Ketika masa Orde Baru, tafsir sejarah tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tokoh-tokohnya hanya milik penguasa. Sebuah film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI divisualkan Orde Baru untuk menciptakan bayang-bayang di pikiran masyarakat tentang orang-orang komunis. Namun pasca gerakan reformasi 1998, yang diikuti dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto, masyarakat mempertanyakan kebenaran tafsir itu. Berbagai studi tentang gerakan kiri di Indonesia bermunculan. Tak terkecuali tentang Musso, yang coba ditelusuri majalah Tempo. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Liputan Khusus majalah itu.
Berikut Daftar Isi Buku; Musso Si Merah di Simpang Republik
1. Radikal Kiri Si Bocah Alim
2. Guru Politik Sang Proklamator
3. Pengkhianatan di Singapura
4. Komando dari Moskow
5. Bangkit Setelah Mati Suri
6. Bersuara dari Rusia
7. Kaum Merah dari Bawah tanah
8. Jalan Baru Musso
9. Meniti Jalan Radikal
10. Oude Heer yang Mudah Naik Pitam
11. Suatu Malam di Proklamasi 56
12. Mitos Amerika di Kaki Lawu
13. Laga Pengalih Sebelum Madiun
14. Titah Berujung di Madiun
15. Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali
16. Soemarsono: Kami Tidak Memberontak
17. Misteri Surat untuk Soekarno Hatta
18. Sapu Bersih dalam Semalam
19. Proklamasi Dini di Madiun
20. Akhir Perjalanan Sang Ketua
21. Lunglai di Rawa Klambu
22. Tiga Dilepas demi Revolusi
23. Jalan Baru yang Kandas
24. Perlawanan Terakhir di Semanding
25. Melawan Hingga Akhir Hayat
26. Kolom-Kolom
27. Hatta Kambing Hitam Madiun
28. Jalan Berliku Tuan Mussotte
29. Indeks
Kisah Musso dalam buku ini menunjukan kepada kita bahwa perjalanan hidup seorang anak manusia dalam bingkai sejarah tidaklah bisa ditempatkan secara hitam dan putih. Dan terlepas dari segala misteri serta kontroversi yang menyelimutinya, agaknya tokoh kiri seperti tuan Mussotte ini memiliki jalan takdir yang sama dengan sebuah ungkapan “revolusi memakan anaknya sendiri.”
TEMPO menerbitkan seri buku orang-orang kiri mungkin beralasan hanya untuk menginformasikan "sesuatu" yang terjadi di masa lalu, untuk diberitahukan buat orang - orang di masa depan. Barangkali memang sejarah bukan mitos, bukan filsafat, juga bukan ilmu pasti, banyak kemungkinan dan versi yang menghiasi setiap lembar. Banyak sekali saksi yang terlibat didalamnya, sehingga tidak salah jika muncul berbagai versi. Ada "atas" ada "bawah", "kanan" ada "kiri".
Karena itu, salah tidaknya versi - versi tersebut tergantung pemahaman dan subjektifitas, sehingga berkembang menjadi suatu analisa berujung kepercayaan. Semuanya adalah HAK. Sehingga tidak ada yang salah jika kita mempelajari dan memahami bahkan akhirnya mempercayai sejarah dari versi yang berbeda. Keep Calm and Turn Left. "Kamu belok kanan, saya belok kiri, atau sebaliknya, sampai ketemu di ujung jalan".