Naskah lokal mencatat sabab musabab meletusnya gunung Tambora. Salah satunya karena Allah murka pada raja Tambora. Beberapa naskah tradisional menyebutkan Gunung Tambora di Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat, meletus lantaran Abdul Gafur, raja kerajaan
Tambora, melakukan kelalaian. Dia memerintahkan pembunuhan seorang warga
keturunan Arab dengan alasan telah menghina kerajaan.
Dalam Syair Kerajaan Bima karya Khatib Lukman, sebagaimana
termuat dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah karya Henri
Chambert-Loir, orang yang dibunuh itu bernama Haji Mustafa. Syair
mengisahkan tentang Haji Mustafa yang segala permintaannya selalu
dikabulkan Allah karena dirinya pernah mengunjungi Baitullah. Penduduk
setempat meyakininya sebagai orang keramat.
Cerita musabab letusan Tambora pun hadir dalam Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora
karya Roorda van Eysinga, terbitan 1841, yang disusun berdasarkan kisah
perjalanan C.G.C Reinwardt dan H. Zollinger. Keduanya mendapatkan
gambaran tentang bencana Tambora dari Ismail, Raja Bima 1819-1854. Menurut cerita ini, seorang Arab dari Bengkulu bernama Said Idrus
singgah di Kerajaan Tambora untuk berniaga. Ketika pergi ke mesjid, dia
melihat ada seekor anjing di sana. Lalu disuruhnya penjaga mesjid untuk
mengusirnya. Si penjaga berkata bahwa raja adalah empunya anjing itu.
Said Idrus menjawab, “Siapa yang memasukan anjing di dalam mesjid,
orang kafir itu.” Merasa tak punya kuasa, pergilah sang penjaga anjing
itu menghadap raja. Raja tak terima disebut kafir, lalu memerintahkan
orang untuk membunuh Said Idrus. Akibatnya, Allah murka atas ulah raja. Meletuslah Tambora. Api
menyala dari pusat letusannya, mengejar para pembunuh di kota, hutan
hingga ke laut yang juga ikut menyala. Lalu turun hujan abu. Kala itu langit gelap gulita, abu dan api berkuasa. Mulai 11 April
1815, selama tiga hari dua malam Tambora meletus bergemuruh tiada henti.
Catatan dari Kerajaan Bima, Bo’ Sangaji Kai,
menyebutkan akibat letusan Tambora, Kerajaan Tambora dan Kerajaan
Papekat lenyap dari muka bumi. Kedua kerjaan itu dibanjiri lahar,
ditimbun batu dan pasir.
Letusan Tambora pun menyebabkan terjadinya tsunami. Kerajaan lain di
Sumbawa, yakni Kerajaan Dompo, Sanggar, Sumbawa, dan Bima juga mengalami
duka. Menurut Adrian B. Lapian dalam “Bencana Alam dan Penulisan
Sejarah” termuat pada Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis,
diperkirakan Pulau Sumbawa kehilangan 85.000 warganya yang tewas karena
letusan, wabah penyakit, kelaparan, serta meninggalkan Sumbawa untuk
pergi ke pulau lain.
Syair karya Khatib Lukman pun menceritakan malapetaka letusan Tambora
berakhir karena orang sembahyang dan meminta ampun pada Allah. Tetapi
kemelaratan, kelaparan dan wabah penyakit tidak bisa dihindarkan. Banyak
orang meninggal tergeletak di jalan, tak dikubur dan tak
disembahyangkan.
Kedatangan para pedagang dari pulau sekitar Sumbawa dan Maluku serta
pedagang Arab, Tionghoa dan Belanda, kemudian menyelamatkan Bima. Mereka
membawa beras, gula, sagu, jagung, dan kacang kedelai yang dapat
dibarter dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang emas dan
perak, sereh, gambir, serta budak.
Annisa Mardiani
Annisa Mardiani