MB.com, TOKOH --- Hati Raden Tjokrosoenarjo, Asisten
Wedana Rembang, Purbalingga, hari itu, 24 Januari 1916, berbunga-bunga.
Lantaran ia dianugerahi putra. Bayi mungil itu ia beri nama, Soedirman. Sebagai anak priyayi, Soedirman oleh ayahnya, dimasukkan ke sekolah HIS (Holland Indische School), setingkat sekolah dasar di Cilacap.
Beranjak remaja, Soedirman melanjut
belajar di Perguruan Wiworo Tomo, lembaga pendidikan milik Muhammadiyah.
Di sekolah ini, Soedirman mendapat bimbingan kebangsaan dari tiga guru
yang kemudian sangat mempengaruhi wawasan kebangsaan dia.
Ketiga guru itu adalah Raden Sumoyo,
yang berpandangan nasionalis-sekuler. Kemudian, Raden Mohammad Kholil,
yang memiliki pandangan nasionalis-Islamis. Ketiga, Tirtosupono, adalah
lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Kendati berbeda-beda persepsi, ketiga
guru Soedirman ini sama-sama bersikap non kooperatif terhadap
pemerintahan kolonial Belanda. Dari mereka itu juga, karakter kebangsaan
Soedirman terbentuk: Islamisme, nasionalisme, dan militansi militer.
Pada 1934, Soedirman mengawali karir
menjadi guru di HIS Muhammadiyah. Namun, memasuki masa pendudukan
Jepang, Soedirman memutuskan berhenti menjadi guru. Mengapa? Karena dia
tertarik bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air atau PETA, bentukan
Jepang. Pangkat pertama Soedirman, daidancho, setingkat mayor. Dia
menjadi komandan batalyon di Kroya.
Begitu Jepang menyerah kepada Sekutu,
Daidancho Soedirman, beserta pasukannya pun berhasil merebut kekuasaan
dari tangan Jepang tanpa pertumpahan darah.
Dari bekas pasukan PETA yang
dihimpunnya, Soedirman membentuk Resimen I/Divisi I TKR yang meliputi
wilayah Karesidenan Banyumas. Persenjataan pasukan Soedirman cukup
lengkap, hasil rampasan gudang senjata Jepang. Oleh Kastaf MBU TKR,
Letjen Oerip Soemohardjo, Soedirman diangkat menjadi Komandan Divisi V
Daerah Banyumas dengan pangkat kolonel.
Jenjang ketentaraan Soedirman begitu
cepat melesat. Itu karena, dalam konferensi TKR yang dilaksanakan pada
November 1945, Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima TKR.
Satu bulan kemudian, Desember 1945,
Kolonel Soedirman menggerakkan pasukan untuk menyerang Sekutu beserta
NICA di Banyubiru, Ambarawa. Karena menurut perjanjian, Sekutu semula
hanya boleh mendaratkan pasukan di Kota Semarang. Ternyata Sekutu malah
merangsek hingga Ambarawa.
Pertempuran pasukan TKR melawan Sekutu
dan NICA pun meletus. Dalam pertempuran terkenal yang disebut sebagai
Palagan Ambarawa ini, pasukan Soedirman berhasil memukul mundur musuh.
Beberapa hari setelah peristiwa Palagan
Ambarawa, pada 18 Desember 1945, Presiden Soekarno, menaikkan pangkat
Panglima Besar (Pangsar) ini menjadi jenderal.
Selaku Pangsar, Jenderal Soedirman yang
acap disapa Pak Dirman, mau tak mau banyak terlibat berbagai momen
penting bersama tokoh perjuangan. Khususnya, Tan Malaka. Mereka berdua punya kesamaan pandang
dalam banyak hal. Terutama, atas perjuangan bangsa. Keduanya sama-sama
menentang garis politik “jalan diplomasi” Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus persen” dan ”berunding berarti
kemerdekaan kurang dari seratus persen”.
Kedua tokoh ini pertama kali bertemu
dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946.
Setelah itu, sepanjang tahun 1946, Pak Tan beberapa kali datang khusus
menemui Pak Dirman. Kedekatan itu yang kemudian melahirkan Dwitunggal
Ketiga, setelah Soekarno-Hatta dan Syahrir–Amir.
Dalam rentang waktu berikut, pilihan
bersikap oposisi Pak Tan (juga Pak Dirman), berbuah penjara. Menteri
Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapan Pak Tan. Pada 17
Maret 1946, Tan beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan,
ditangkap, dan dipenjarakan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Jenderal Soedirman tak tinggal diam.
Panglima Divisi III Mayjen Sudarsono pun diperintahkan membebaskan semua
tahanan pada 3 Juli 1946. Atas perintah itu, Sudarsono menyerbu penjara
Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Sehingga Letkol
Soeharto, penanggung jawab keamanan Kota Yogyakarta, diperintahkan untuk
menangkap Mayjen Sudarsono. Presiden Soekarno kemudian berhasil
meyakinkan Soedirman agar meninggalkan Tan. Sebagai balasan, Soekarno
mendukung penuh semua keputusan Jenderal Soedirman selaku Pangsar TKR
yang pada 1947 berganti menjadi TNI.
Sejarah mencatat, Tan Malaka dan
Jenderal Soedirman dengan jalan pilihan mereka, kembali ke jalan gerilya
ketika Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Pertaruhkan Kepala Bung Karno
Dalam agresi itu, Belanda menangkap
Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Agus Salim, dan pejabat pemerintah.
Mereka diasingkan ke Bangka. Sedangkan Jenderal Soedirman lolos dari
sergapan Belanda. Sesungguhnya ada satu episode yang melatar belakangi pilihan Pak Dirman melakukan perang gerilya.
Desember 1948, ketika Belanda tengah
bersiap melakukan agresi kedua dengan membombardir Maguwo, Jenderal
Soedirman membangunkan Presiden Soekarno. “Saya minta dengan sangat,
agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota
dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya,” desak Jenderal
Soedirman. Jawab Soekarno, “Dirman, engkau seorang
prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu
bukanlah pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin
bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua. Kemungkinan
Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal
di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya
menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut. Anak-anak
kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang
beradab, akan tetapi …”
Melihat kekukuhan Soekarno, Soedirman
tercenung sejenak. Dengan suara bergetar, lalu ia berkata, “…Kami akan
peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi
mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan
besar-besaran.” Sebelum melangkah ke luar meninggalkan
ruangan Soekarno, Soedirman bertanya, “Apakah ada instruksi terakhir
sebelum saya berangkat?"
“Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman, dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta”, begitu pesan Bung Karno.
Dialog tadi adalah detik-detik
dimulainya agresi Belanda, 19 Desember 1948. Seperti penuturan Bung
Karno kepada Cindy Adams, wartawati AS yang bertugas di Indonesia pada
periode 60-an. Dan, hari-hari berikutnya, dengan bekal
seadanya, Pangsar Soedirman memimpin pasukan TNI melawan Sekutu yang
diboncengi pasukan NICA. Padahal Pak Dirman saat memimpin perang
gerilya, dalam kondisi paru-paru hanya berfungsi sebelah. Sebenarnya,
Bung Karno juga sudah menyarankan Pak Dirman menjalani perawatan karena
sakit yang diderita tergolong parah.
Menjawab saran Bung Karno, Pak Dirman
menjawab; “Yang sakit itu Soedirman… Panglima Besar tidak pernah
sakit….”. Tidak terbayangkan, begitu besar semangat perjuangan Sang
Jenderal dalam melawan musuh, sekaligus sakit yang dideritanya.
Dengan ditandu, Pak Dirman pun ke
luar-masuk hutan, naik-turun gunung memimpin pasukan TNI, menjalankan
strategi perang gerilya. Selama tujuh bulan, dengan rute pengembaraan
dari Yogyakarta hingga Kediri, ratusan kilometer arah timur dari
Yogyakarta. Bukan hanya beratnya medan dan minimnya
perbekalan yang harus dihadapi Pak Dirman dan pasukannya. Tetapi juga
kemungkinan mata-mata Belanda. Sehingga suatu hari pernah terjadi
pengkhianatan dari salah satu anggota pasukannya.
Berbekal informasi dari salah satu
pengkhianat di tubuh pasukan Jenderal Soedirman, pasukan Belanda pun
lalu mengepung keberadaan Jenderal Soedirman. Pak Dirman yang sadar
kondisinya dalam keadaan terkurung, tidak kehilangan akal. Seluruh anak
buahnya diperintahkan memakai sarung dan peci. Lalu dibuatlah rancangan
seolah dalam ruangan tengah diadakan pengajian.
Benar saja, saat salah seorang komandan
Belanda memasuki ruangan dan bertanya di mana Jenderal Soedirman berada,
maka informan Belanda yang berada di ruangan itu menunjuk ke arah Pak
Dirman yang berpura-pura menjadi kiai yang memimpin pengajian. Namun
komandan Belanda tidak mempercayai petunjuk informannya sendiri. Dinilai
memberikan informasi palsu, malah si pengkhianat akhirnya ditembak di
tempat. Merasa tidak menemukan keberadaan Jenderal Soedirman, maka
pasukan Belanda itu segera beranjak pergi.
Sakit paru akibat TBC yang diderita,
tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pak Dirman terus mengatur
siasat. Termasuk tetap berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
melalui surat yang disampaikannya lewat kurir.
Melalui surat pada Februari 1949, Sultan
meminta Pangsar Jenderal Sudirman melancarkan tindakan militer guna
membalas propaganda Belanda, yang menyatakan Indonesia sudah tidak ada.
Sehingga Soedirman selaku pangsar TNI segera merencanakan rincian
pelaksanaannya.
Dengan perencanaan matang, Serangan Umum
1 Maret pun dilancarkan. Setelah bertempur sengit menggempur Sekutu dan
NICA selama enam jam, akhirnya TNI berhasil menguasai kembali Kota
Yogyakarta. Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret inipun langsung disiarkan
ke seluruh dunia. Misi serangan itu berhasil menghentak jagad dunia
Barat, yang semula termakan propaganda palsu Belanda.
Dewan Keamanan PBB pun mengecam Belanda.
Bahkan memerintahkan segera membebaskan empat serangkai pemimpin
Republik Indonesia (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim) yang ditawan
Belanda di Pulau Bangka. Dibentuklah misi khusus guna mengatasi konflik,
yang kelak menghasilkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sekembali Yogyakarta Ibu Kota Perjuangan
ke pangkuan Ibu Pertiwi, Presiden Soekarno yang baru dibebaskan Belanda
dari penahanan, langsung memanggil Jenderal Soedirman, kembali ke
Yogyakarta.
Namun, akibat sakit yang semakin parah,
beberapa bulan kemudian Pak Dirman dipanggil Sang Khalik pada Ahad, 29
Januari 1950. Dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di
Semaki, Yogyakarta. (sasmojo achmad/dpy)