Logo

Logo
Latest News
Monday, November 17, 2014

Soedirman, Panglima Perang Sahabat Tan Malaka


MB.com, TOKOH --- Hati Raden Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, Purbalingga, hari itu, 24 Januari 1916, berbunga-bunga. Lantaran ia dianugerahi putra. Bayi mungil itu ia beri nama, Soedirman. Sebagai anak priyayi, Soedirman oleh ayahnya, dimasukkan ke sekolah HIS (Holland Indische School), setingkat sekolah dasar di Cilacap.
 
Beranjak remaja, Soedirman melanjut belajar di Perguruan Wiworo Tomo, lembaga pendidikan milik Muhammadiyah. Di sekolah ini, Soedirman mendapat bimbingan kebangsaan dari tiga guru yang kemudian sangat mempengaruhi wawasan kebangsaan dia.

Ketiga guru itu adalah Raden Sumoyo, yang berpandangan nasionalis-sekuler. Kemudian, Raden Mohammad Kholil, yang memiliki pandangan nasionalis-Islamis. Ketiga, Tirtosupono, adalah lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.

Kendati berbeda-beda persepsi, ketiga guru Soedirman ini sama-sama bersikap non kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dari mereka itu juga, karakter kebangsaan Soedirman terbentuk: Islamisme, nasionalisme, dan militansi militer.

Pada 1934, Soedirman mengawali karir menjadi guru di HIS Muhammadiyah. Namun, memasuki masa pendudukan Jepang, Soedirman memutuskan berhenti menjadi guru. Mengapa? Karena dia tertarik bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air atau PETA, bentukan Jepang. Pangkat pertama Soedirman, daidancho, setingkat mayor. Dia menjadi komandan batalyon di Kroya.
Begitu Jepang menyerah kepada Sekutu, Daidancho Soedirman, beserta pasukannya pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Jepang tanpa pertumpahan darah.

Dari bekas pasukan PETA yang dihimpunnya, Soedirman membentuk Resimen I/Divisi I TKR yang meliputi wilayah Karesidenan Banyumas. Persenjataan pasukan Soedirman cukup lengkap, hasil rampasan gudang senjata Jepang. Oleh Kastaf MBU TKR, Letjen Oerip Soemohardjo, Soedirman diangkat menjadi Komandan Divisi V Daerah Banyumas dengan pangkat kolonel. 

Jenjang ketentaraan Soedirman begitu cepat melesat. Itu karena, dalam konferensi TKR yang dilaksanakan pada November 1945, Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima TKR.
Satu bulan kemudian, Desember 1945, Kolonel Soedirman menggerakkan pasukan untuk menyerang Sekutu beserta NICA di Banyubiru, Ambarawa. Karena menurut perjanjian, Sekutu semula hanya boleh mendaratkan pasukan di Kota Semarang. Ternyata Sekutu malah merangsek hingga Ambarawa.
Pertempuran pasukan TKR melawan Sekutu dan NICA pun meletus. Dalam pertempuran terkenal yang disebut sebagai Palagan Ambarawa ini, pasukan Soedirman berhasil memukul mundur musuh.
Beberapa hari setelah peristiwa Palagan Ambarawa, pada 18 Desember 1945, Presiden Soekarno, menaikkan pangkat Panglima Besar (Pangsar) ini menjadi jenderal.

Selaku Pangsar, Jenderal Soedirman yang acap disapa Pak Dirman, mau tak mau banyak terlibat berbagai momen penting bersama tokoh perjuangan. Khususnya, Tan Malaka. Mereka berdua punya kesamaan pandang dalam banyak hal. Terutama, atas perjuangan bangsa. Keduanya sama-sama menentang garis politik “jalan diplomasi” Perdana Menteri Sutan Syahrir. Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus persen” dan ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen”.
 
Kedua tokoh ini pertama kali bertemu dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946. Setelah itu, sepanjang tahun 1946, Pak Tan beberapa kali datang khusus menemui Pak Dirman. Kedekatan itu yang kemudian melahirkan Dwitunggal Ketiga, setelah Soekarno-Hatta dan Syahrir–Amir.

Dalam rentang waktu berikut, pilihan bersikap oposisi Pak Tan (juga Pak Dirman), berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapan Pak Tan. Pada 17 Maret 1946, Tan beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan, ditangkap, dan dipenjarakan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Jenderal Soedirman tak tinggal diam. Panglima Divisi III Mayjen Sudarsono pun diperintahkan membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Atas perintah itu, Sudarsono menyerbu penjara Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Sehingga Letkol Soeharto, penanggung jawab keamanan Kota Yogyakarta, diperintahkan untuk menangkap Mayjen Sudarsono. Presiden Soekarno kemudian berhasil meyakinkan Soedirman agar meninggalkan Tan. Sebagai balasan, Soekarno mendukung penuh semua keputusan Jenderal Soedirman selaku Pangsar TKR yang pada 1947 berganti menjadi TNI.

Sejarah mencatat, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman dengan jalan pilihan mereka, kembali ke jalan gerilya ketika Agresi Militer Belanda II pada 1948.

Pertaruhkan Kepala Bung Karno

Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Agus Salim, dan pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka. Sedangkan Jenderal Soedirman lolos dari sergapan Belanda. Sesungguhnya ada satu episode yang melatar belakangi pilihan Pak Dirman melakukan perang gerilya.

Desember 1948, ketika Belanda tengah bersiap melakukan agresi kedua dengan membombardir Maguwo, Jenderal Soedirman membangunkan Presiden Soekarno. “Saya minta dengan sangat, agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya,” desak Jenderal Soedirman. Jawab Soekarno, “Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua. Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut. Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang beradab, akan tetapi …”

Melihat kekukuhan Soekarno, Soedirman tercenung sejenak. Dengan suara bergetar, lalu ia berkata, “…Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.” Sebelum melangkah ke luar meninggalkan ruangan Soekarno, Soedirman bertanya, “Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?"
“Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman, dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta”, begitu pesan Bung Karno.
Dialog tadi adalah detik-detik dimulainya agresi Belanda, 19 Desember 1948. Seperti penuturan Bung Karno kepada Cindy Adams, wartawati AS yang bertugas di Indonesia pada periode 60-an. Dan, hari-hari berikutnya, dengan bekal seadanya, Pangsar Soedirman memimpin pasukan TNI melawan Sekutu yang diboncengi pasukan NICA. Padahal Pak Dirman saat memimpin perang gerilya, dalam kondisi paru-paru hanya berfungsi sebelah. Sebenarnya, Bung Karno juga sudah menyarankan Pak Dirman menjalani perawatan karena sakit yang diderita tergolong parah.
Menjawab saran Bung Karno, Pak Dirman menjawab; “Yang sakit itu Soedirman… Panglima Besar tidak pernah sakit….”. Tidak terbayangkan, begitu besar semangat perjuangan Sang Jenderal dalam melawan musuh, sekaligus sakit yang dideritanya.

Dengan ditandu, Pak Dirman pun ke luar-masuk hutan, naik-turun gunung memimpin pasukan TNI, menjalankan strategi perang gerilya. Selama tujuh bulan, dengan rute pengembaraan dari Yogyakarta hingga Kediri, ratusan kilometer arah timur dari Yogyakarta. Bukan hanya beratnya medan dan minimnya perbekalan yang harus dihadapi Pak Dirman dan pasukannya. Tetapi juga kemungkinan mata-mata Belanda. Sehingga suatu hari pernah terjadi pengkhianatan dari salah satu anggota pasukannya.

Berbekal informasi dari salah satu pengkhianat di tubuh pasukan Jenderal Soedirman, pasukan Belanda pun lalu mengepung keberadaan Jenderal Soedirman. Pak Dirman yang sadar kondisinya dalam keadaan terkurung, tidak kehilangan akal. Seluruh anak buahnya diperintahkan memakai sarung dan peci. Lalu dibuatlah rancangan seolah dalam ruangan tengah diadakan pengajian.

Benar saja, saat salah seorang komandan Belanda memasuki ruangan dan bertanya di mana Jenderal Soedirman berada, maka informan Belanda yang berada di ruangan itu menunjuk ke arah Pak Dirman yang berpura-pura menjadi kiai yang memimpin pengajian. Namun komandan Belanda tidak mempercayai petunjuk informannya sendiri. Dinilai memberikan informasi palsu, malah si pengkhianat akhirnya ditembak di tempat. Merasa tidak menemukan keberadaan Jenderal Soedirman, maka pasukan Belanda itu segera beranjak pergi.

Sakit paru akibat TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pak Dirman terus mengatur siasat. Termasuk tetap berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melalui surat yang disampaikannya lewat kurir.

Melalui surat pada Februari 1949, Sultan meminta Pangsar Jenderal Sudirman melancarkan tindakan militer guna membalas propaganda Belanda, yang menyatakan Indonesia sudah tidak ada. Sehingga Soedirman selaku pangsar TNI segera merencanakan rincian pelaksanaannya.

Dengan perencanaan matang, Serangan Umum 1 Maret pun dilancarkan. Setelah bertempur sengit menggempur Sekutu dan NICA selama enam jam, akhirnya TNI berhasil menguasai kembali Kota Yogyakarta. Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret inipun langsung disiarkan ke seluruh dunia. Misi serangan itu berhasil menghentak jagad dunia Barat, yang semula termakan propaganda palsu Belanda.

Dewan Keamanan PBB pun mengecam Belanda. Bahkan memerintahkan segera membebaskan empat serangkai pemimpin Republik Indonesia (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim) yang ditawan Belanda di Pulau Bangka. Dibentuklah misi khusus guna mengatasi konflik, yang kelak menghasilkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Sekembali Yogyakarta Ibu Kota Perjuangan ke pangkuan Ibu Pertiwi, Presiden Soekarno yang baru dibebaskan Belanda dari penahanan, langsung memanggil Jenderal Soedirman, kembali ke Yogyakarta.

Namun, akibat sakit yang semakin parah, beberapa bulan kemudian Pak Dirman dipanggil Sang Khalik pada Ahad, 29 Januari 1950. Dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. (sasmojo achmad/dpy)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Soedirman, Panglima Perang Sahabat Tan Malaka Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi