MB.com, RESENSI --- Apa yang bisa didapatkan dari perang? Mungkin kuasa, bisa juga kebanggaan. Yang pasti, derita korban. Dengan sepatu botnya ia melangkah di
tanah yang dirembesi air laut. Sambil berbincang, sesaat ia menunjuk
pelataran luas yang dijejali ratusan nisan kayu berbentuk salib, lalu
menyentuh pundak kawan bicaranya yang telah lewat paruh baya. Ia, Peter
Steenmeijer (Oorlogsgraven-Stichting, Jakarta), bercerita
tentang ratusan orang yang mati, sebagian besar disembelih, semasa
pendudukan Jepang di Indonesia. “Prajurit Australia, Inggris, dan
Belanda terkubur di sini,” ujarnya.
Ratusan nisan di Ancol itulah kubur mereka, pengingat kisah-kisah pedih yang telah lewat puluhan tahun. Kala itu 1942. Jepang datang ke Hindia
Belanda demi merebutnya dari tangan Belanda, yang baru saja mengalami
masa penguasaan Nazi. Antusiasme tinggi rakyat Indonesia menyambut
mereka. Orang-orang berjejal di pinggir jalan sembari mengibarkan
bendera Jepang, sebagaimana mereka menghormati bendera sendiri. “Mereka
menunjuk dan menertawai kami,” kata Ferry Holtkamp, mantan tentara
Belanda yang ikut menyaksikan.
Antusiasme tersebut membantu kekuatan
militer Jepang untuk segera membekuk Belanda. “Ketika bangkit perlawanan
orang-orang Indonesia, Belanda tak bisa berbuat banyak,” ujar Dick van
Logchem, salah seorang pejuang Belanda kala itu. Jepang lalu berkuasa di
Hindia-Belanda hingga 1945. Periode sulit bagi warga Hindia-Belanda dan
orang-orang Belanda di Nusantara pun dimulai. Masa inilah fokus dalam Verzet in Indie (Perlawanan di Hindia-Belanda).
Meski Belanda telah menandatangani
perjanjian penyerahan kekuasaan atas Hindia-Belanda kepada Jepang, tak
semua prajurit mereka bisa menerimanya. Muncullah pemberontakan melawan
Jepang. Sinyo-sinyo, para keturunan indo-Belanda bersama orang-orang
Ambon dan China menjadi tulang punggung kekuatan tersebut. Mereka
merancang praktik intelijen dan serangan-serangan gerilya terhadap
kekuatan Jepang.
Pada era kolonial Belanda, banyak
pribumi yang dipekerjakan untuk tugas rahasia semacam intelijen. Mereka
mengumpulkan berbagai informasi dari tiap penjuru Nusantara. Badan ini
kemudian diambil alih dan dikomandoi langsung orang-orang Jepang. Mereka
berperan besar dalam mematahkan perlawanan Belanda tahun 1943, membuat
Jepang berkuasa mutlak atas Hindia-Belanda.
Sudah diperkirakan sebelumnya, praktik
perlawanan semodel itu akan dapat diatasi kekuatan besar militer Jepang.
Kekalahan hanya persoalan waktu. Mereka yang tertangkap mengalami
penyiksaan berat tak manusiawi sebelum akhirnya menjadi korban
penjagalan para prajurit Jepang. Orang-orang inilah yang kemudian
dikuburkan di Ancol.
Para tawanan perang Jepang ini sebagian
besar memang masih di Hindia Belanda, namun ada juga yang dibawa ke
Jepang untuk menjalani hukuman kerja paksa. Ketika bom atom
meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, sontak Jepang menyerah kalah.
Para tawanan perang, termasuk para serdadu Belanda, dibebaskan. Mereka
yang masih di Indonesia dipulangkan setelah lebih dulu transit di
Australia. Lewat mulut merekalah narasi film ini berjalan.
Film ini menghadirkan beberapa orang
yang terlibat, mewakili berbagai pihak, pada masa itu. Selain Peter
Steenmeijer dan Ferry Holtkamp, ada juga Sogi Hadi Sasmito (veteran
PETA), Sakari Ono (veteran tentara Jepang), Ton Van Essel (veteran
KNIL), Piet de Kock (gerilyawan), serta bersaudara Yuke Rajab Ranggasoli
dan Netty Soerjowidjojo (anak anggota badan intelijen Belanda).
Disertakan pula Kaori Maekawa, sejarawan Jepang, yang beberapa kali
memberikan komentar.
Verzet in Indie mampu berkisah
dengan baik. Cerita dirangkai lewat narasi yang menuntun film, berbagai
dokumentasi dari masa pendudukan Jepang, serta pengakuan orang-orang
yang terlibat. Seringkali narasi dan testimoni diperkaya gambar
dokumentasi yang dramatis. Pengakuan tiap orang disajikan sedemikian
rupa seperti sebuah dialog, kadang diselipi luapan emosi para pelaku,
menghadirkan suspens yang bagus.
Cerita yang diwarnai
pengalaman-pengalaman unik personal memang kerap menghasilkan nuansa
simpatik dan haru. Hal ini pula yang berisiko mengaburkan penilaian
objektif. Sisi tersebut justru persoalan utama Verzet in Indie.
Pemilihan sudut pandang yang melulu membela kepentingan pihak pejuang
Belanda membuat sejarah tergambar berat sebelah. Fakta penderitaan orang
Indonesia yang disebabkan Belanda, sebelum dan sesudah pendudukan
Jepang, tak masuk hitungan sebagai pembanding perilaku kejam Jepang.
Belanda seringkali memposisikan diri
sebagai korban. Paling tidak ada tiga peristiwa yang selalu mereka
andalkan. Selain masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, dua yang lain
adalah pendudukan Jerman Nazi semasa Perang Dunia II dan pencaplokan
wilayah mereka oleh Napoleon Bonaparte pada abad ke-19. Padahal,
berbarengan dengan itu, Belanda menjajah tanah Nusantara. Dengan
memposisikan diri sebagai korban, Belanda bisa mendapat simpati
kekuatan-kekuatan utama seperti Inggris. Pada gilirannya, posisi mereka
di mata internasional tetap bagus dan kolonialisme mereka tetap aman.
Keadilan seakan hanya milik mereka.
Lewat pilihan adegan dan narasi, juga pengakuan, Verzet in Indie
mengadili fakta. Fragmen Soekarno bekerja sama dengan Jepang dan
meneriakkan "Banzai!" menguatkan narasi betapa para pejuang Belanda
terancam dan sendirian. Pemilihan kata resistence ketika menceritakan Belanda melawan Jerman, dan kata rebel untuk menghadapi Jepang, sebagaimana diceritakan narator di awal film, sudah menjelaskan tendensi ini.
Pengakuan orang-orang di pihak Belanda
melengkapi pembelaan tersebut. Secara simplistik mereka membandingkan
betapa kedamaian masa kolonial Belanda bagi kedua pihak terganggu
kedatangan Jepang yang berkuasa dengan gaya tangan besi. Belum lagi
cerita penyiksaan demi penyiksaan yang mereka alami. Aoki Masafumi,
veteran Kempeitai, pun berkali-kali mengklarifikasi hal tersebut. Namun
penyusunan adegan membuat bantahan ini sulit dipercaya.