Mustafa Saleh Nggae, Pewaris Aksara Ende
MB.com, --- Tak
banyak yang mengetahui bahwa di kawasan Nusa Tenggara Timur, khususnya
Kabupaten Ende, Pulau Flores, terdapat aksara asli yang disebut Lota.
Aksara ini nyaris punah.
pengguna aksara Lota pada masa lalu biasa di pakai pada masyarakat suku Ende yang beragama Islam yang bermukim di wilayah Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Nangapanda.
Saat ini aksara lota ini sudah sangat jarang di temukan di wilayah-wilayah tersebut.
Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk Ende sekitar awal abad ke-16. Aksara Bugis ini kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende, Lota berasal dari kata lontar. Surat beraksara Lota dulu ditulis menggunakan ujung pisau pada wunu kozi (daun lontar).
Syair yang di sampaikan dalam lota ini biasa tentang asal usul atau silsilah keluarga, cerita perjalanan hidup seseorang , serta puji-pujian dan doa. Dalam budaya Ende, Lota selalu digunakan para orang tua yang mengkhitankan anak atau warga yang akan membangun rumah baru.
Proses regenerasi budaya ini oleh suku Ende amat lemah. Masyarakat suku Ende yang bisa membaca dan menulis aksara Lota yang tersisa jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Hanya Mustafa Saleh Nggae, warga Kampung Pu’u Mbara, Kecamatan Ende Utara yang masih lancar menulis dan membaca aksara Lota dari total penduduk suku Ende yg seharusnya sebagai pewaris Budaya ini.
Mustafa tergerak mempelajari aksara Lota dari kakeknya Abdul Fatah (almarhum). Ia tidak ingin sepeninggal generasi tua itu, aksara Lota hilang ditelan zaman.
Salah satu kriteria tingginya budaya suatu bangsa dapat dilihat dari peninggalan budaya tulisan atau aksaranya. Masyarakat Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki aksara Lota. Sayangnya, kini, aksara Lota itu terkesan dibiarkan mati.
pengguna aksara Lota pada masa lalu biasa di pakai pada masyarakat suku Ende yang beragama Islam yang bermukim di wilayah Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Nangapanda.
Saat ini aksara lota ini sudah sangat jarang di temukan di wilayah-wilayah tersebut.
Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk Ende sekitar awal abad ke-16. Aksara Bugis ini kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende, Lota berasal dari kata lontar. Surat beraksara Lota dulu ditulis menggunakan ujung pisau pada wunu kozi (daun lontar).
Syair yang di sampaikan dalam lota ini biasa tentang asal usul atau silsilah keluarga, cerita perjalanan hidup seseorang , serta puji-pujian dan doa. Dalam budaya Ende, Lota selalu digunakan para orang tua yang mengkhitankan anak atau warga yang akan membangun rumah baru.
Proses regenerasi budaya ini oleh suku Ende amat lemah. Masyarakat suku Ende yang bisa membaca dan menulis aksara Lota yang tersisa jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Hanya Mustafa Saleh Nggae, warga Kampung Pu’u Mbara, Kecamatan Ende Utara yang masih lancar menulis dan membaca aksara Lota dari total penduduk suku Ende yg seharusnya sebagai pewaris Budaya ini.
Mustafa tergerak mempelajari aksara Lota dari kakeknya Abdul Fatah (almarhum). Ia tidak ingin sepeninggal generasi tua itu, aksara Lota hilang ditelan zaman.
Salah satu kriteria tingginya budaya suatu bangsa dapat dilihat dari peninggalan budaya tulisan atau aksaranya. Masyarakat Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki aksara Lota. Sayangnya, kini, aksara Lota itu terkesan dibiarkan mati.
