Logo

Logo
Latest News
Sunday, September 22, 2013

TRADISI RATAPAN SUKU LIO : EQUILIBRIUM AGAMA BUMI DAN AGAMA LANGIT

Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 22/09/2013

A. Aspek Sejarah Manusia

Pada dasarnya manusia diciptakan memiliki akal budi. Ia bisa berpikir kritis dan ilmiah untuk menentukan hidupnya sebab manusia harus bisa menentukan mau dibawa kemanakah hidupnya itu. Setiap manusia memiliki pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.

Dalam ilmu pengetahuan [sains] bidang antropologi, hakikat manusia merupakan homo homini socius (Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya). Karena itu manusia senantiasa saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Namun setiap manusia mempunyai pedoman hidup masing-masing. Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan sesama manusia lain didalam menjalani kehidupannya. Oleh Sebab itu, segala aspek sejarah dan budaya hidup manusia sangat bergantung bagaimana kebiasaan-kebiasaan manusia itu sendiri yang sudah melekat secara terus menerus sehingga terciptalah sebuah tradisi yang merupakan dogma yang mampu bertahan sepanjang masa.

Teori Aristoteles (filusuf Yunani) menyebutkan manusia adalah zoon politicon, artinya manusia memiliki rasa untuk hidup berkelompok dengan manusia lain. Manusia merupakan perjumlahan dari pada beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing bekerja tersendiri seperti kemampuan-kemampuan vegetative yaitu makan dan berkembang biak, kemampuan sensitive, yaitu kemampuan bergerak mengamat-amati, bernafsu dan berperasaan, dan kemampuan intelektif, yaitu berkemampuan kecerdasan. Pendapat Aristoteles ini lebih menekankan pada prinsip dasar bahwa manusia itu selalu berkelompok dan melibatkan dirinya terhadap keadaan sesama sekitar dan makluk ciptaan Tuhan yang lain di muka bumi. Sehingga pola dan laku manusia dalam suatu wilayah [masyarakat] tentu tidak sama dengan wilayah lainnya, sebab setiap wilayah masyarakat mempunyai ciri dan karakter berbudaya tersendiri.

Manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa bantuan orang lain, sebab manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Setiap manusia memiliki ciri khas yang berbeda seperti bentuk fisik, bakat, dan kemampuannya. Oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial (homo socius). Perbedaan-perbedaan ciri khas tersebut sehingga setiap manusia bisa saling mengisi dan saling membutuhkan satu sama lain.

Berpijak dari pandangan Aristoteles tersebut diatas, maka penulis beranggapan bahwa manusia yang hidup dan menganut pada norma yang sama dalam suatu locus kebudayaan [lokal culture] akan selalu saling merasakan kebahagiaan maupun penderitaan yang sama. Kebahagiaan dan penderitaan itu kerap dielaborasikan dalam indulgensi penuh penghormatan terhadap wujud tertinggi, dan juga terhadap segala yang fana. Dalam hal ini, wujud tertinggi dipersonifikasikan melalui alam sekitarnya, sedangkan kefanaan terdapat pada makluk yang hidup dan mati.

B Definisi Ratapan

Ratapan dalam bahasa Indonesia disebut juga tangisan, rintihan, duka cita atau juga perkabungan. Dalam terjemahan bahasa Inggris, ratapan disebut lament [lamentation]. Dalam bahasa Ibrani, ratapan disebut 'eikha' yang berisi syair-syair, atau orang Yunani menyebutnya 'threnoi'. Di Indonesia, tradisi ratapan ini terdapat juga dalam literatur suku Batak, suku Mandailing, suku Karo juga Toraja dan suku-suku lainnya. Sementara suku Lio menyebut; Nangi Pa'a Suri untuk membahasakan ratapan.

Dalam tradisi suku Lio, ratapan bukan saja sebagai bentuk kedukaan atau perkabungan melainkan suatu peristiwa terputusnya [missing link] secara lahiria hubungan emosional antara manusia yang hidup dan mati sehingga diekspresikan dalam bentuk tangisan kendati hubungan bathinia keduanya akan terus terpelihara lewat pergulatan-pergulatan magis. Kehidupan masyarakat suku Lio sejak jaman dulu telah diwariskan kepada generasi ke generasi untuk memelihara suatu hubungan pertalian kekeluargaan yang menggambarkan adanya hubungan yang tidak terputus tentang asal usul seseorang dengan alam, dimana dalam pergaulan kehidupan sehari-harinya bersikap dan bertindak sebagai satu kesatuan baik dalam hubungannya dengan alam kebendaan (natural) maupun alam sekeliling yang tidak kelihatan (supra natural).

C Ratapan Perspektif Agama Bumi

Agama bumi "Earth Religion" dalam istilah bahasa Arab disebut; "dien al-ardh" merupakan agama yang berasal dari kepercayaan animisme juga lahir dari kebiasaan-kebiasaan pemujaan manusia terhadap wujud tertinggi. Agama bumi (dien al-ardh) adalah suatu kepercayaan yang bersumber pada kekuatan alam dan bumi. Sedangkan agama langit disebut agama samawi atau agama Abrahamik yang berasal dari perwahyuan yang diturunkan melalui nabi-nabi. Taylor dalam bukunya Primitive kulture (1871), menegaskan definisi animistis agama dalam kerangka teori kognitif (Turner 1991:45). Agama bumi berakar pada kepercayaan akan adanya roh-roh (anima). Karena animisme adalah bentuk awal dari agama-agama dewasa ini.

Masyarakat suku Lio dikenal sebagai masyarakat yang religius. Perilaku keseharian masyarakat Lio banyak dipengaruhi oleh pikiran yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Lio memiliki relasi istimewa secara vertikal [thdp. pencipta] maupun horisontal [thdp. sesamanya]. Tradisi suku Lio banyak mengajarkan kesimbangan hidup terhadap sesama manusia juga kepada bumi yang dipijak. Manusia Lio dituntut untuk saling merasakan kebahagiaan maupun kepedihan yang sama. Hal ini dapat terlihat dari kebiasaan-kebiasaan suku Lio melaksanakan ritual kematian untuk menghormati orang-orang yang sudah meninggal. Bentuk penghormatan tersebut acapkali dielaborasikan melalui berbagai cara, salah satunya adalah mendaraskan syair-syair ratapan. Isi syair ratapan biasanya membahasakan perilaku kebaikan-kebaikan juga sisi buruk dari orang yang sudah meninggal tersebut. Syair-syair tersebut biasanya didaraskan oleh siperatap secara spontanitas, dengan nada-nada yang menyayat hati. Pada proses inilah daya magis dan kekuatan-kekuatan langit dan bumi dihidupkan, seolah turut berkabung serta mengiringi kepergian orang yang meninggal menghadap sang khalik. Salah satu syair ratapan yang masih melegenda hingga kini adalah: Ratapan Ine Mbu [Dewi Padi]

Nara, ele kau pali-pali ta mawe roa labi
Ele kau welu-welu ta mawe roa wela
Ele kau ndota ngere ndota mbongga
Ele kau ndai ngere ndai pari
Ele kau sisa ngere sisa ika
Ta ghele roa nara....

Ghele leka sao ria tenda bewa
Ghele leka tangi sea, leke sere
Ghele leka embu welu kajo pa'a
Leka kuwu - leka jebu

Leka tenda ine eo jila ngere lelu sina
Ghele leka tangi babo eo masa ngere pingga bha
Aku ta'u ra neku loka leka tana ongga
Geto neku ola mesu leka watu embu

Terjemahan:

Nara, biar kau sudah asah (tajam) tapi jangan dulu sobek/bilah (menyayat daging)
Biar kau sudah ancang-ancang tapi jangan dulu belah
Biar kau cincang-cincang seperti cincang mbonga
Biar kau sayat seperti sayat pari
Biar kau bersihkan seperti bersih sisik ikan
Tapi di atas dulu


Diatas rumah besar, (tenda=tempat duduk di rumah)
Diatas di tangga berdiri, tiang rumah yang kokoh
Ditempat peninggalan nenek moyang,
Di tempat (kuwu=tempat penyulingan arak), (jebu=kandang)

Ditenda=tempat duduk di rumah ibu yang bersih bercahaya,
Ditiang rumah ayah yang datar (melambangkan keterbukaan)
Saya kuatir darahku mengaliri tanah sakral
Darah yang kental (mendaging) jatuh di batu pusaka EMBU (eyang)


Isi syair ratapan ini sepintas menyiratkan bahwa ada proses penyerahan diri seutuhnya demi kepentingan orang banyak yang mana ibu padi harus mengorbankan dirinya demi menghidupkan masyarakat Lio yang sedang dilanda kelaparan hebat pada masanya. Ine Mbu adalah manifestasi dari pengasal padi sebagai manusia yang hidup. Syair ratapan Ine Mbu adalah Syair ratapan dipercaya mempunyai kekuatan magis yang kerap menghantarkan manusia pada dimensi lain. Sebab itu ratapan ini selalu dilantunkan pada ritual penanaman padi ladang. Selain itu, doa-doa [suasasa] kepada ibu padi kerap diucapkan agar tanaman padi memperoleh hasil yang melimpa rua.

Pada umumnya orang Lio jaman dahulu menganut agama bumi dan percaya bahwa di alam ada kekuatan yang dapat mengatur dan menentukan kehidupan. Agama ini berkembang secara tradisional pada masyarakat Lio yang memiliki tingkat solidaritas yang mekanik dan juga masih memiliki pola berpikir yang tradisional pula. Kegiatan keagamaan dari agama bumi adalah ritual dengan melakukan pemujaan terhadap benda benda yang mempunyai nilai spiritual tinggi.

Bagi orang Lio, makna hidup tidak terletak dalam kesejahteraan, realitas, atau objektivitas seperti dipahami oleh manusia modern, tetapi dalam keseimbangan kosmos kehidupan itu baik apabila kosmos tetap berada dalam keseimbangan dan keserasian. Setiap bagian dari kosmos itu, termasuk manusia dan makhluk lainnya, mempunyai kewajiban memelihara keseimbangan semesta. Peristiwa-peristiwa mistis bagi orang Lio merupakan realitas transcendental, artinya objektivitas mistis jelas ada pada lingkungan hidup, flora, fauna, air, bumi, udara dan sebagainya, dimana makna religi dari lingkungan sekitar ini dilihat baik dari segi objektif maupun subjektifnya.

D Ratapan Perspektif Agama Langit

Ratapan, tidak akan terpisah dalam kehidupan sejak awal terbentuknya peradaban manusia di muka bumi. Banyak literatur sejarah-sejarah kuno yang mencatat tradisi ini dari masa ke masa. Peristiwa-peristiwa kelam pun tidak lepas mempengaruhi pikiran manusia untuk terus tahkluk pada kekuatan-kekuatan magis, sehingga setiap peristiwa kerap membuat perilaku hidup manusia terus berevolusi dengan kondisi dimana dia berhabit. Adapun kisah-kisah nubuat parah nabi yang membawa penyelamatan bagi umat manusia yang tersandera oleh kekuasaan tirani para raja-raja terdahulu sehingga banyak peristiwa tragis pada masa itu meninggalkan jejak ratapan. Salah satu bukti paling otentik adalah berdirinya tembok ratapan di Yerusalem untuk mengenang penyiksaan dan pembunuhan terhadap bangsa Israel dan jatuhnya kota Yerusalem terhadap tentara Babel pada tahun 586 sebelum masehi. Tembok ratapan atau tembok barat dalam ejaan Inggris disebut "wailing wall" didirikan tahun 2500 sebelum masehi juga merupakan saksi bisu pembantaian Romawi terhadap bangsa Israel yang menyisakan nilai historis begitu hebat. Oleh sebab itu wailing wall dinggap tempat yang paling keramat dan suci bagi agama-agama samawi diantaranya Islam, Kristen maupun Yahudi.

Berikut syair-syair ratapan runtuhnya kota Yerusalem:

Betapa sunyi Yerusalem sekarang ini,
kota yang dahulu ramai sekali
dahulu unggul diantara bangsa-bangsa
Kini menjadi seperti janda
dahulu kota yang paling dipuja
kini telah menjadi hamba

Sepanjang malam ia menangis sedih,
air mata berderai dipipi
tak seorang pun dari para kekasihnya
yang mau menghibur dia,
ia dikhianati kawan-kawan
yang telah menjadi lawan


Selain syair ratapan tersebut, adapun ratapan Rahel yang disebut (Rachel Weeping) yang tertulis dalam Matius 2:16-18. "Di Rama terdengar suara ratapan, keluhan serta tangisan. Rahel meratapi anak-anaknya: Ia tidak mau dihibur sebab mereka sudah tiada". [bdk Yeremia 31:15].

Syair-syair diatas menggambarkan seluruh aspek hidup manusia dipengaruhi pergumulan yang ditujukan kepada sang pencipta sebagai wujud penghormatan. Segenap hati, pikiran, kekuatan, dan tubuh dipasrahkan untuk menerima penderitaan maha dasyat.

  E Kesimpulan

Baik dalam pandangan agama bumi [keyakinan orang Lio] maupun agama samawi, peristiwa ratapan merupakan sebuah permenungan batin pencarian profetik transendental yang mampu mengubah pola dan laku hidup manusia pada masa-masa paling kritis sehingga manusia dituntut untuk hidup rukun antara satu dengan yang lain. Kisah ratapan tidak terlepas dari kaum hawa sebagai aktor utama [peratap] sebab dalam diri hawa terdapat kelembutan dan kekuatan untuk membendung duka akibat kekejaman maupun penyiksaan manusia sebagai homo homini lupus [manusia sebagai serigala bagi manusia lain]. Meski mewarisi patrilineal namun tradisi Lio menekankan wujud hormat kepada kaum hawa sebagai matrilineal. Hal ini kerap ditemui dalam beberapa pandangan yang mana Ibu sebagai sumber segala kehidupan di muka bumi.

Ratapan seorang ibu bagi dunia merupakan karunia bagi peradaban manusia. Tanpa seorang ibu yang prihatin, tidak akan ada hari depan bagi perjalanan hidup manusia. Baik syair ratapan Ine Mbu, ratapan Yerusalem maupun ratapan Rahel mengingatkan manusia akan pentingnya peranan seorang ibu bagi dunia yang diktator. Koherensi timbal balik antara ratapan, agama bumi maupun agama langit hanya terletak pada salah satu subjek sentral yaitu ibu sebagai pelaku utama ratapan, juga sebagai simbol kelahiran peradaban-peradaban manusia sebab ketiganya mempunyai relasi istimewah antara bumi, langit dan manusia yang bersifat kosmic.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: TRADISI RATAPAN SUKU LIO : EQUILIBRIUM AGAMA BUMI DAN AGAMA LANGIT Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi