Mengapa Ajaran Bung Karno Kurang Berkembang??
Oleh: Marlin Bato
Sumber, Khaeruddin Al Ghifari
Fidel Castro, legenda revolusi Kuba, pernah mengaku sebagai murid Bung Karno. Pengakuan itu, seperti ditulis Dr Haridadi Sudjono, bekas dubes Indonesia untuk Kuba, disampaikan sendiri oleh Fidel Castro kepada Bung Karno. Konon, pengakuan Castro itu juga pernah disampaikan ke Menlu Adam Malik. Bahkan, kata Dr Hariadi, beberapa ajaran Bung Karno menjadi acuan Fidel Casto dalam memimpin negerinya. Dua ajaran Bung Karno yang paling digandrungi Fidel adalah Tri-Sakti dan Resopim. Ajaran Tri-Sakti mencakup tiga hal: berdaulat di bidang politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Sedangkan Resopim adalah intisasi pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 61: Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional.
Pada tahun 1955, di Malaysia, berdiri Partai Rakyat Malaya (PRM). Disebutkan, partai yang didirikan oleh Ahmad Boestaman ini menganut ideology “Marhaenisme”. PRM mengikuti ajaran politik Bung Karno. Di dalam surat kabar PRM dikatakan, marhaenisme adalah ajaran sosialisme gotong-royong dan berwatak demokratis.
Ajaran Bung Karno patut diperhitungkan. Michael Leifer, seorang sarjana Inggris yang banyak melakukan studi soal Asia Tenggara, memasukkan ajaran Bung Karno, yaitu marhaenisme, ke dalam varian marxisme. “Marhaenisme merupakan usaha mendefenisikan sosialisme Indonesia,” kata Leifer. Leifer bahkan menyamakan level Marhaenisme dan Maoisme.
Sayangnya, ajaran-ajaran Bung Karno timbul-tenggelam di negerinya sendiri. Memang, seperti kita saksikan, banyak orang mulai mengutip pemikiran Bung Karno. Namun, sedikit sekali yang mengelaborasinya lebih lanjut. Alhasil, ajaran-ajaran Bung Karno hanya nampak sebagai slogan-slogan belaka. Ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Bung Karno kurang berkembang.
Pertama, ajaran Bung Karno pernah diberangus puluhan tahun oleh rezim orde baru. Kita tahu, orde baru menjalankan apa yang disebut “de-sukarnoisasi”. Pemikiran Bung Karno ditenggelamkan. Tak hanya itu, karya pemikiran Bung Karno, misalnya Pancasila, dimanipulasi sedemikian rupa.
Peringatan hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, mulai dilarang sejak tahun 1970. Dengan begitu, orde baru berusaha menceraikan Bung Karno dengan Pancasila. Lalu, orde baru menyusun cerita palsu mengenai siapa penemu Pancasila. Tentunya, sejarah pancasila versi Orba itu menghapus Bung Karno di dalamnya.
Kedua, pelarangan marxisme sejak rezim orde baru hingga sekarang ini. Padahal, marxisme ini sangat mempengaruhi fikiran Bung Karno. Ia pernah bilang, “teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten untuk memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”
Soekarno mengakui, pemikiran nasionalistiknya, yaitu sosio-nasionalisme, berbeda dari nasionalis lain lantaran marxisme. “Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu membenci fasisme,” tambahnya.
Pada peserta kongres Partindo di Jakarta, 26 Desember 1961, Bung Karno menegaskan, marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. ”Marhaenis yang tidak menjalankan marxisme,” kata Bung Karno, ”adalah marhaenis gadungan.”
Bahkan, saat menyampaikan amanat di hadapan Front Marhaenis, 4 Juli 1963, Bung Karno kuat-kuat berpesan: ”untuk memahami marhaenisme, ajaran saya itu, paling minimal harus menguasai dua pengetahuan: pertama, pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, kedua, pengetahuan tentang Marxisme.
Pendek kata, orang tak akan memahami marhaenisme jika tak belajar marxisme. Melepaskan marxisme dari marhaenisme sama saja dengan membuang roh teori itu. Hal itulah, menurut saya, yang membuat kenapa marhaenisme sekarang mengalami kebangkrutan. Sebab, marhaenisme telah diceraikan dari marxisme.
Banyak yang mengaku marhaenis, namun anti-marxisme. Di akhir 1960-an, terutama setelah peristiwa G.30.S, dinamika politik Indonesia makin ke kanan. Sentimen anti-komunis, dan dengan demikian anti-marxisme, berkembang kuat. Banyak orang marhaenis, karena tak mau dicap ”komunis”, membuang marxisme dari ajaran mereka. Ini pula yang membuat marhaenis sekarang tak lagi radikal dan revolusioner. Lebih jauh lagi, marxisme ini membentuk hampir keseluruhan bangunan pemikiran Bung Karno. Taruhlah, misalnya, pemikiran Bung Karno soal demokrasi, itu sangat dipengaruhi oleh cara pandang marxisme soal demokrasi. Ambil juga konsep ”partai pelopor”-nya Bung Karno, itu banyak sekali dipengaruhi teori organisasi Lenin.
Anda tidak akan memahami sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi jika tak dibekali dengan pemahaman marxisme yang kuat. Sebab, kedua teori itu sangat dipengaruhi cara pandang marxisme. Marxisme pula yang menjadi senjata analisis Bung Karno untuk memahami kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Dan marxisme pula yang mencahayai pemikiran Bung Karno dalam merumuskan masa depan Revolusi Indonesia.
Karena itu, supaya marhaenisme bisa berkembang, maka marxisme harus fondasi dasar pembentuk teori marhaenisme. Dan marhaenisme akan kembali menjadi teori ilmiah dan sekaligus pemandu perjuangan hanya jika dikembalikan sebagai ”marxisme dalam konteks Indonesia”. Pendek kata, tanpa marxisme, marhaenisme hanya slogan-slogan belaka. Tanpa dilengkapi pengetahuan marxisme, yang kita tangkap dari ajaran Bung Karno hanyalah abunya saja.
Inti ajaran Bung Karno itu sebetulnya tiga: marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Yang lain-lain, seperti massa aksi dan machtvorming, hanyalah turunan dari tiga pemikiran di atas. Sedangkan konsep-konsep Bung Karno, seperti Tri-Sakti, Resopim, Demokrasi Terpimpin, Nasakom, Manipol-Usdek, dan lain-lain, adalah hasil elaborasi dari tiga pemikiran inti di atas.
Di tambah lagi, sangat sedikit pemikir era sekarang yang melanjutkan elaborasi terhadap teori-teori Soekarno. Berbeda sekali, misalnya, dengan pemikiran Bung Hatta yang masih dilanjutkan oleh Mubyarto, Sri Edi Swasono, dan Sritua Arif. Ada orang semisal Yudi Latief yang berusaha mengelaborasi ajaran Soekarno, tetapi tanpa berpijak pada analisa marxisme. Akibatnya, kajian Yudi Latief terlalu akademis, sloganis, tak menyentuh inti ajaran Bung Karno dan tak membumi.
Saya sendiri berpendapat, ajaran-ajaran Bung Karno sangat relevan untuk menganalisa dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan dan global saat ini. Hanya saja, supaya bisa menjadi senjata yang efektif, marhaenisme harus dikembalikan pada khittahnya: Marxisme.