Tura jaji. Kalimat ini berasal dari 'Tebo Tura, Lo Jaji', yang arti secara harfianya; 'Tebo Tura' = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan 'Lo jaji' = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti 'setiap manusia harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur. Misalnya perjanjian antar persekutuan Orang Lise dengan persekutuan orang Mbuli, Jopu, Moni dan sekitanya yang isinya melarang secara tegas bentuk - bentuk perselisihan atau bahkan perkelahian. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian ini pasti akan terkenah musiba atau semacam kutukan. Contoh lain perjanjian itu adalah; Perjanjian antar persektuan orang Lise secara umum dengan persekutuan orang Mbengu di perbatasan kabupaten Ende dan Maumere. Isi dari perjanjian itu ialah; Jika ada orang Lise yang sedang berada diwilayah Mbengu dan dilanda kehausan atau kelaparan, mereka boleh memetik buah kelapa atau buah apa saja untuk dimakan asalkan tidak untuk dibawah pulang dan begitu pula sebaliknya. Yang menarik disini, meskipun pemiliknya melihat perihlaku seseorang dari salah satu persekutuan tersebut yang sedang memetik buah kelapa dan lain - lain, mereka tidak boleh melarang tindakan tersebut. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian tersebut akan mengalami masa sulit berkaitan dengan hasil panen. Konon diketahui perjanjian 'Tura jaji' ini ditandai dengan Nipa Hua/kua (Lipan) dan Ana bewu (burung Puyu). Maksudnya, jika seekor Lipan berjalan menyeberangi jalan raya, akan mati dengan sendirinya atau seekor Burung Puyu tidak akan terbang tinggi. Jika burung puyu terbang tinggi, akan terjatuh dan mati. Kedua mahkluk ini hanya sebagai simbol supaya persekutuan - persekutuan tersebut harus selalu mengingat dengan 'Tura jaji' karena kedua mahkluk tersebut gampang dijumpai didaratan Lio secara keseluruhan diwilayah komunitasnya masing - masing. Secara Implisit, ini dapat disebut sebagai hukum adat yang tidak tertulis dan mengandung norma - norma serta kaida - kaida yang telah dianut oleh masyarakat Lio secara turun - temurun. Norma atau kaida ini harus selalu dipatuhi oleh masing - masing persekutuan orang Lio meskipun tidak ada sanksi fisik. Dalam kehidupan masyarakat Lio, selain 'Tura jaji' tentu ada aturan - aturan yang dibuat dan ditetapkan sebagai hukum tidak tertulis dan harus dipatuhi oleh siapapun yang tinggal dalam di salah satu persekutuan Lio. Adapun seseorang yang melakukan pelanggaran - pelangaran, baik itu secara sengaja atau tidak, tentu juga dikenakan sanksi yang sangat tegas namun ada juga tidak dikenakan sanksi secara langsung. Contoh Sanksi yang dikenakan secara langsung misalnya; Seseorang Si (A) melakukan penghinaan atau fitnah kepada yang lainya Si (B). Jika Si (A) terbukti bersalah kepada Si (B), maka Si (A) harus membayar denda kepada Si (B) sebagai ganti rugi beban moralnya jika tidak dia akan dikucilkan oleh adat dan masyarakat setempat. Beban ganti rugi ini sering disebut orang Lio sebagai 'Ndate wale'. Contoh lainnya dari Sanksi langsung; Misalnya di salah satu persekutuan orang Lio sedang melakukan ritual po'o are (Upacara minta hujan). Pada ritual ini, Mosalaki selaku Ketua adat menetapkan waktu tujuh hari pantangan (Pire Po'o) sebelum hari H. Dalam masa tujuh hari ini, masyarakat yang tinggal diwilayah itu dilarang keras melakukan aktifitas yang bersifat merusak tanaman hijau misalnya; memetik daun hijau, menebang pohon dll. Pada masa ini juga masyarakat dilarang membuat kegaduhan misalnya; Berkelahi, Berpesta pora atau menyetel musik keras - keras, mabuk - mabukan ataupun berbuat onar dll. Meskipun demikian, masyarakat juga tentu diijinkan untuk beraktifitas seperti biasa untuk menopang hidup. Larangan - larangan ini dimaksudkan supaya dalam tujuh hari masyarakat harus hidup tenang. Selain itu, Pada masa pantangan ini di yakini sebagai proses turunya Penguasa langit (Du'a Gheta Lulu Wula) dan menyatuh diwisu Lulu dengan Penguasa Bumi (Ngga'e Ghale Wena Tana) melalui Au wula Leja yang ditanam dipojok kanan depan rumah adat. Proses perkawinan atau penyatuan ini diyakini sebagai unsur simbolik dari pemberihan benih - benih kesuburan selaras dengan apa yang didambahkan oleh setiap insan dan ditandai dengan masuknya iklim penghujan. Inilah Proses panjang sejarah Agama asli orang Flores yang sudah diwariskan turun temurun. Aturan - aturan atau norma dan kaida tadi adalah Hukum yang berdiri untuk menjaga keluhuran adat Lio dan telah menjadi kitab suci yang tidak tertulis agama asli orang Lio dan rumah adat sebagai gerejanya. Bagi siapapun yang melanggar Hukum adat ini akan dikenahkan denda (Ndate wale) dalam rupa hewan kurban sebagai wujud untuk menggantikan keluhuran yang ternoda. Jika Si pelanggar tidak sanggup membayar denda ini berarti dia harus rela meneteskan daranya sebagai ganti hewan kurban atau dia akan dikucilkan bahkan diusir dari persekutuan ini.
Sekian,
Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
sumber lisan..
WANES-LISE