Alat Musik dan Seni tari merupakan unsur kebudayaan universal. Kebudayaan merupakan “Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Itu berarti bahwa Alat Musik dan Seni tari juga merupakan hasil daya cipta manusia. Alat Musik dan seni tari ini mempunyai cikal-bakal yang amat sangat heterogen dalam rentang sejarah kultur Ende Lio. Semua jenis alat musik terkadang mencoba menjelaskan dan mendefinisikan suatu makna dengan jarak Pentagonis yang memiliki nada beberapa jenis bunyi yang kedengarannya seolah-olah alamiah, maka ia menjadi salah satu ciri khas bunyi instrument tradisional, yang alatnya terbuat dan terbentuk dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya, seperti kayu, bambu, logam, tanduk, kulit hewan dan lain sebagainya. Selama berabad-abad, masyarakat suku Ende Lio telah diwarisi banyak kesugihan budaya dari peradaban melayu kuno. Beberapa instrumen musik yang hingga kini masih dimanfaatkan adalah Alat musik pukul 'Nggo' dan 'Wani'. Dalam bahasa Indonesia 'Nggo' disebut 'Gong' sedangkan 'Wani' disebut Waning atau Gendang atau juga Tambur.
'Nggo'
Nggo atau Gong terdiri atas 'Nggo Lamba' berjumlah empat buah yang bermanfaat sebagai pengiring derap para penari dan 'Nggo diri' berjumlah satu buah yang bermanfaat sebagai pendukung 'Nggo lamba'. Alat musik ini terbuat dari logam yang dibakar dan kemudian ditempah lalu dibentuk hampir menyerupai piringan, namun ada tonjolan didepan agar para pemusik bisa memukulnya dengan baik. Gong atau Nggo ada yang berukuran besar dan kecil yang tentunya menghasilkan nada yang berbeda - beda. Untuk menghasilkan suara yang terbaik saat dimainkan oleh para pemusik, 'Nggo Lamba' harus digantung dengan seutas tali pada kayu yang sengaja dibuat terpisah agar antara Nggo yang satu tidak bersentuhan dengan Nggo lainnya, sedangkan 'Nggo diri bisa' ditaruh dalam posisi apa saja karena 'Nggo diri' bermanfaat hanya sebagai pendukung. Sekilas, jika dimainkan oleh para pemusik lokal, nada - nada alat musik ini terkesan sangat tidak beraturan. Namun bagi masyarakat Ende Lio, setiap ketukan nada yang dimainkan mengandung makna ajakan dan spirit untuk para penari maupun pendengar supaya bisa ambil bagian dalam menunjukan ekspresinya lewat tarian.
'Wani'
Wani dalam bahasa Indonesia artinya; Waning atau Gendang atau juga Tambur. Sebenarnya alat musik ini lebih cocok disebut Tambur, karena bentuknya agak lonjong, dan mengecil dari atas kebawah seperti corong. Oleh masyarakat Ende Lio, 'waning' sengaja dibuat agak lonjong dan berbeda dari jenis manapun supaya menghasilkan suara yang lebih nyaring. Proses pembuatan waning, tergolong lebih mudah ketimbang 'Gong atau Nggo' karena alat musik ini umumnya terbuat batang pohon lontar, Rotan, dan kulit kerbau atau kulit kambing. Batang pohon lontar tadi berfungsi sebagai corong, rotan sebagai tali pengikat sedangkan kulit kerbau atau kambing tadi berfungsi sebagai pelapis dan penutup bagian atas yang nantinya jika dipukul, akan menghasilkan suara. Beberapa tahun silam dalam persekutuan suku Ende Lio, muncul pula tradisi di kampung 'Wologai' yang memanfaatkan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang. Konon, dari informasi - informasi yang diketahui bahwa alasan penggunaan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang adalah untuk menghasilkan suara yang terbaik dan lebih nyaring serta bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kulit binatang. Menurut perspektif tradisi masyarakat Ende Lio, untuk menghasilkan nada - nada yang sempurna, Waning/Tambur harus dimainkan bersamaan dengan Gong. Kolaborasi ini adalah suatu hasil daya cipta masyarakat setempat yang sudah diwariskan turun temurun. Dalam memainkan alat musik jenis ini, pemain musik Waning/Tambur bertugas sebagai pemimpin arransement supaya setiap ketukan Gong harus selaras dengan Tambur.
'Tari Perang'
Tari, dalam bahasa Ende Lio dikenal dengan sebutan Toja, Wanda, atau Wedho. Sedangkan 'Perang' disebut; Guta. Namun Orang Ende Lio juga mengenal kata 'Wika Tana' yang berarti merebut, menaklukan, atau menguasai secara paksa sesuatu wilayah dari tangan musuh. Kata wika juga bersinonim dengan perang tadi. Meski demikian, kalimat yang cocok dalam bahasa Ende Lio untuk menyebut Tari Perang adalah 'Toja Napa Nuwa'. 'Napa Nuwa', Jika diterjemahkan secara harfia artinya Menunggu atau menanti Usia. Dalam pandangan Masyarakat Ende Lio, disebut 'Napa Nuwa', karena ini sangat berkaitan erat dengan 'Wika Tana', sehingga deretan sejarah suku Ende Lio mencatat, setiap laki - laki yang pulang dari medan pertempuran selalu disambut dengan tarian Napa Nuwa yang diringi dengan alat musik tradisional setempat yaitu; Nggo, Wani. Pada jaman dulu, Toja napa Nuwa ini biasanya dipentaskan oleh Para pria Ketua adat secara individual sambil mengumandangkan 'Bhea' (ungkapan untuk membangkitkan Spirit yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan). Meski demikian, tarian ini bisa juga dipentaskan oleh para pejuang yang pulang dari medan perang akan tetapi harus dipimpin oleh ketua adat. Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir, tarian ini dikembangkan sehingga dapat diperankan oleh siapa pun dan dikemudian dipadukan dengan tampilan para wanita Ende Lio untuk menambah semarak tarian tersebut. Walaupun demikian, perpaduan antara penari Pria dan wanita ini tentu mempunyai makna lain yaitu sebagai icon spirit untuk membangkitkan keperkasaan para Pria yang pulang dari medan pertempuran. Bagi para penari pria, busana yang dikenakan dalam tarian ini adalah: 'Ragi Mite' (kain sarung hitam bergaris, model khas lelaki), 'Lambu bara' (Baju kemeja putih), kadang - kadang juga ada yang tidak mengenakan baju, 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio semacam patola) dan 'Lesu' (kain tenun ikat kepala yang beragam coraknya) serta dilengkapi dengan atribut seperti 'Sau' (perisai), 'Topo' (parang/pedang yang panjang), Wo'o Le'e (busur panah) atau 'Tumba' (tombak). Sedangkan busana para wanita terdiri dari; 'Lawo' (sarung yang berwarna coklat dengan motif yang beragam), 'Lambu Nua' (baju bodo ciri khas Ende Lio), 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio namun mempunyai motif yang berbeda dari lelaki).
'Tari Perang' dan 'Nggo Wani' adalah perpaduan antara seni tari dan seni musik khas Ende Lio yang saling berkaitan erat sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Ritme - ritme yang dilantunkan oleh 'Nggo Wani' seyogyanya menjadi alur untuk mengatur gerakan para penari sehingga, para penari sebagai lakon dalam tarian ini dapat meluapkan ekspresinya dengan sangat baik sekali. Selintas, tarian perang dan nada - nada 'Nggo Wani' ini seolah sangat tidak beraturan dan tanpa arti, akan tetapi, sesungguhnya Tarian Perang dan alat musik 'Nggo Wani' ini telah menjelaskan secara gamblang bahwa setiap jejak - jejak kisah sejarah Ende Lio adalah Suatu Peradaban yang mengandung kelampauan, kekinian dan juga yang akan datang.
Sekian,
Penulis; Marlin Bato (Pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber, Lisan Inspiratif
WANES-LISE